22 Oktober 1990

22 Oktober 1990 

  Waktu kecil, Mama bilang banyak orang yang mencium dan menyubit pipiku sambil berkata,”Wah, lucu sekali putrimu!”.
Kini aku masih tetap seperti anak kecil itu.
Aku masih lucu, setidaknya masih berusaha untuk lucu.
Aku ingin membuat orang-orang disekitarku tertawa walau harga sembako makin hari makin mahal (hubungannya apa?).
Aku tak pernah bosan tertawa, menertawai diri sendiri bahkan sepertinya jadi kegiatan yang menarik.
Aku ingin tertawa, tertawa hingga lelah walau dunia mempermainkan hidupku dengan begitu lucunya.
Aku masih lucu!

Dulu saat aku kecil, Mama bilang aku suka berebut mainan dengan kakak dan adik ku.
Percayalah aku masih tetap begitu.
Namun kini bukan mainan yang kurebut melainkan sejumlah prestasi dan urutan teratas dalam setiap kompetisi.
Sayangnya dalam setiap kompetisi kehidupan aku tak selalu bisa merebut posisi puncak.
Ntah perjalananku masih panjang atau tidak.

Dulu saat aku kecil, Mama bilang aku tak kenal lelah.
Berlari kian kemari, tak peduli berapa kali aku jatuh aku tetap bangkit dan kembali berlari lagi.
Tapi kini aku sudah dewasa, Ma.
Terkadang aku lelah dengan permainan kehidupan.
Disaat aku terjatuh aku malas bangkit lagi.
Kebosanan, kepenatan sering menyambangi hidupku.
Ada begitu banyak waktu yang kuhabiskan tanpa berbuat apapun.
Aku ingin kembali menjadi anak kecil itu.
Anak kecil yang tak kenal putus asa.

Dulu saat aku kecil, Mama mengajarkanku tentang Tuhan.
Guru sekolah mingguku juga melakukan hal yang sama.
Kata mereka Tuhan itu baik, Maha Pengasih, selalu menolong setiap kesusahan anak-anakNYA dan aku percaya itu!
Aku yakin Tuhan setia.
Kini aku sudah dewasa.
Begitu banyak beban dan persoalan hilir-mudik di kehidupanku.
Dan aku mulai bertanya, benarkah yang kuyakini ketika aku kecil dulu.
Bahkan aku pernah dengar beberapa pertanyaan yang selalu menanyakan hal yang sama, “Apakah Tuhan benar-benar ada?”
Dan otakku mulai berkutat tentang pertanyaan para filsuf-filsuf besar tentang keberadaan Tuhan (semboyan yang sering kudengar di kampus bahwa mahasiswa harus radikal! Hahaha, masa iya?).
Oke, lupakan mahasiswa! Aku masih percaya Tuhan!
Aku masih anak kecil itu, anak kecil yang percaya bahwa Tuhan adalah sumber kekuatan yang tak terlihat.

Dulu saat aku kecil, aku kira ketidakadilan itu adalah manakala kakakku dibelikan baju baru yang penuh dengan renda-renda emas yang sangat indah dan adikku dibelikan Boneka Susan yang sangat manis sekali sementara aku hanya mendapat baju dan boneka usang milik si kakak yang bahkan kelihatan tidak menarik bagiku.Karna kata mama sayang untuk di buang.
Ketidakadilan itu pikirku adalah saat kakak dan adikku diberikan hadiah sana-sini atas keberhasilannya di sekolah  sementara aku hanya bisa memandangi nilai raportku yang penuh dengan ikan masnya.
Kini aku sudah dewasa, dan makna ketidakadilan yang kukira dulu ternyata tidak se-simpel itu.
Aku menjumpai begitu banyak ketidakadilan justru disaat aku sudah beranjak dewasa.
Disaat seorang tetangga berkata,”Wah..Putrimu kuliah di Usu! Hebat!” Bangganya aku mendengarnya.
Lalu ia bertanya lagi, ”Jurusan apa di Usu?” Aku yang masih terbawa perasaan bangga pun masih dengan bangganya berkata, ”Ilmu Tanah
!” Dan yang kutemui adalah bapak itu terdiam sejenak sambil mengkernyitkan dahinya. Ilmu Tanah itu apa? Sejenis penyedap rasa tanah ya? Ah..mungkin itu yang dia pikirkan. Seketika itu perasaan banggaku hilang.
Kemudian ia lanjut bertanya,”Mau jadi apalah nanti kalau tamat dari jurusanmu?” Dan dengan perasaan bangga yang sedikit kupaksakan kujawab.”BANKER.” Dan dia kembali terdiam sambil mengkernyitkan dahinya (lagi). Apa itu banker? Baru dengar. Profesi apa itu? Profesi mengusir alien dari bumi? Mungkin begitulah kira-kira isi pikirannya. Dan hei Pak Tua, aku mendengarmu!

 Dalam hati aku berjanji untuk rela membayarinya paket internet tiga jam supaya dia tahu dan mengerti apa itu BANKER dari Uncle GOOGLE.
Ya..Uncle GOOGLE yang cukup ramah pada mahasiswa-mahasiswa yang (kurang) rajin, termasuk saya.
Itu potret ketidakadilan yang paling nyata di hidupku. Hahaha
Aku tahu itu sangat lari, tapi itulah cita-citaku, itulah mimpiku sebab selalu dikatakan oleh orang sukses bermimpilah dahulu maka kamu dapat mewujudkannya.

Dulu saat aku disibukkan dengan jurnal dan laporan yang memaksaku dan teman-teman kampusku yang lain pulang sampai jam 10 malam dari kampus atau mungkin dari warnet hingga justru menguras uang bulananku hanya dalam tempo 1 minggu seseorang mengadu pada mama dan berkata "sekarang pengeluarannya selangit nanti sesudah selesai kuliah dan bekerja gajinyapun tak termakan atau bahkan tak bekerja" Hei,... aku juga manusia yang punya hati dan perasaan. Aku menangis bukan karena aku lemah tapi terlebih karena aku telah mengukir SUKSES itu disini.

Dulu saat aku kecil mama mengajariku tentang kasih yang tak pernah habis, tak pandang orang dan tanpa pamrih.Aku melakukannya persis seperti ajaran mama. Tapi tahukah mama, setelah mereka tak membutuhkanku malah banyak orang mengusikku, mendiamiku dengan berbagai pertanyaan, menghina dan menusukku dari belakang. Mereka itu mereka, orang dekat bahkan orang yg kukasihi. Adakah setiap manusia tak memiliki kasih lagi seperti yang mama ajarkan kepadaku waktu aku kecil dulu. Kasih yang tulus tanpa imbalan.

Kini anak kecil itu bangkit lagi,dengan sisa-sisa tenaga yang tak tersisa banyak
Anak kecil yang kompetitif dalam setiap pertarungan kehidupan.
Anak kecil yang selalu yakin bahwa Tuhan hidup di setiap nafasnya.
Dan anak kecil yang tetap bertahan walau berdiri diatas ketidakadilan.

Anak kecil yang akan selalu bersinar memancarkan kasihnya kepada setiap orang.
Anak kecil itu akan mengukir SUKSES, tak sekedar kata tapi juga NYATA.

Komentar

Postingan Populer