Daun Dalam Kenangan Seribu Arti


Sudah berapa hari sejak musim kering berkepanjangan, seminggu sudah anak-anak hujan meluncur bebas ke permukaan bumi, namun semuanya seakan sama. Sama saja tak ada perbedaan.Musim kering itu benar-benar kejam,memporakporandakan kehidupan si daun. Ia yg dulunya tumbuh segar dan cantik kini mulai tanpak kuning.
"Apa yang harus kuperbuat ranting?", keluh daun kala itu pada ranting. Ia menggeleng tak tahu harus menjawab apa.
"Kau pasti bisa.Kamu tahu semua yg terjadi membuatmu bisa semakin kuat, itukan yg pernah kita sepakati dulu?", kata si ranting mencoba untuk tetap kuat.
"Hei aku masih ada kata si pohon, semangatku akan membawamu kembali seperti dulu", terang pohon.
"Tau nih, akupun akan berjuang menyerap nutrisi dan air lebih banyak lagi buat mengembalikan dirimu yg dulu", akar yg mendengar pembicaraan itu tiba-tiba angkat berbicara.
Si daun terdiam, mencoba mencerna perkataan para sahabatnya itu. Ia bersyukur memiliki mereka yg sangat menguatkan. 'Mereka sungguh luar biasa', batinnya. "Aku harus semangat, menyerap nutrisi lagi biar tumbuh seperti dulu.Bukankah hati yg gembira adalah obat". Semangatnya meningkat kala itu.

Beberapa hari sejak pembicaraan it, semangatnya meningkat namun perubahan tak juga muncul. Si pemilik pohon bahkan sudah memberikan gizi dari pupuk dan pestisida untuk mengembalikannya seperti dulu. Si daun melihat betapa mereka begitu antusias untuk mengembalikannya. Setelah menikmati makanannya, si daun tampak merenung. 'Aku bahkan sudah begitu semangat, aku bahkan sudah melakukan yg dianjurkan, aku bahkan sudah memohon ampunan, tapi kenapa tak kunjung juga aku kembali seperti dulu, kini bahkan tubuhku hampir rapuh. Jika angin tiba aku hanya bisa berpegangan sama ranting dengan begitu aku tak akan jatuh. Si ranting selalu kesakitan dengan cengkramanku'. Ia berpikir semakin keras.
"Hei daun kamu kenapa?", lamunannya berakhir dengan pertanyaan yg datang tiba-tiba dari bunga yang tumbuh di pohon lain. "Tubuhmu tampak kuning,kau tampak lesu, apakah kau sakit?", si bunga kembali bertanya.
"Aku bingung bunga"
"Ceritakan padaku teman", pinta si bunga.
Si daunpun menceritakan kegelisahan hatinya. "Aku tak mungkin terus menerus bertopang pada mereka, aku tau si ranting kesakitan setiap kali angin hampir membawaku, aku tau si pohon dan si akar letih untuk membawakanku nutrisi terbaik yg mereka punya. Aku tak bisa terus menerus bergantung pada mereka", akunya kemudian.
"Kenapa kau tak membiarkan dirimu dibawa angin saja?", ide si bunga muncul seketika.
"Hei...apa kamu sudah gila? Mereka pasti tidak akan setuju", daun sedikit marah.
"Aku tidak gila daun. Coba kamu lihat sekitarmu, banyak daun disana yg berguguran. Bilamana disuruh memilih merekapun pasti tak akan mau. Aku yakin itu". Bunga terdiam kemudian melanjutkan omongannya. "Temanku daun pernah berkata, tidak ada yg abadi. Suatu hari nanti semua akan meninggalkan dan ditinggalkan, tak terkecuali kau dan aku. Itu hanya soal waktu. Mungkin mereka tak akan rela dengan keputusanmu, tapi keputusanmu itu bisa menyelamatkan mereka. Jangan sampai saat kau tak mengambil keputusan mereka semua yg terkena imbasnya"
Daun mengangguk. Perkataan bunga benar dan sangat benar. Ia harus mengambil keputusan secepatnya.
Malampun tiba. Si daun melihat ranting sedang asik dengan pekerjaannya. Sekali-sekali ia tersenyum gembira. 'Aku harus membicarakannya pada ranting'.
"Sibuk?", basa basi daun mendekati ranting.
"Gak juga", ranting senyum ke arahnya.
"Apakah aku bisa meminta?", ragu.
"Hei apapun sahabat" menjawab dan merangkul si daun.
"Maukah kau meninggalkanku?". Ranting sontak terkejut. "Biarkan aku pergi ranting, aku tak ingin memberatkan kamu semua lagi". Daun menjelaskan lebih lanjut.
"Tidak, tidak akan", sahut si ranting kemudian pergi membiarkan daun seorang diri.
Daun tahu tak akan ada yg setuju dengan keputusannya itu. Pun saat ia menuturkannya pada pohon dan akarpun mereka menentang keras. Pohon bahkan mengancam bilama daun mengambil langkah itu ia akan menghapus memori tentangnya. Daun kelelahan dan sangat kelelahan. Ia bingung hendak bagaimana.
Kembali kali ini daun menggubris itu pada ranting. Ranting marah, sangat marah. "Ok, kalau kamu mau begitu, tapi 1 pintaku tolong kamu hapus jejakmu dari hidupku dari keluargaku, ranting-ranting lain". Mungkin ranting tahu daun tak akan bisa melakukannya. 
Dengan menangis seraya tersenyum daun menjawab, "Itu ajakan? Ya aku akan melakukannya. Trima kasih ranting". Ia berlalu dan menangis sejadinya. Inikah harga termahal yg harus ia bayar?
Setelah meminta pada ranting, daun memperbincangkannya lagi pada pohon dan akar. Pohon seketika itu juga mengiyakan dan mengatakan agar daun pergi secepatnya dan jangan kembali. Lain halnya dengan akar, ia dengan tak banyak bicara terdiam. 
"Akar maukah kau membantuku? Aku hanya butuh jawaban ya darimu. Kamu boleh membenciku seperti pohon atau meminta apapun dariku seperti ranting", daun memohon. Berat ia sangat tau itu.
Lama akar terdiam. "Inikah yg kau inginkan?"
Daun mengangguk kencang.
"Lantas kenapa kau harus pamit? Kenapa tak pergi aja lepaskan cengkramanmu dari ranting?" Akar membesarkan suaranya yg halus itu.
"Karna aku tak mau membuat sahabatku mencariku hingga lelah. Kita pernah mengalaminya, ditinggalkan tanpa sepatah katapun dan itu sangat menyakitkan bukan? Biarkan api marah yg muncul tapi kelak menghasilkan buah yg manis", jelas daun.
Akar menangis dan membelakangi daun. 
"Pergilah, pergilah daun. Aku ikhlas, aku tau kaupun tak menginginkannya dan aku yakin keputusan ini sangat berat buatmu. Pergilah, aku tak ingin ketidakikhlasanku semakin memberatkanmu" Akar berlari meninggalkan daun.
Daun menangis. Ia menangis tersedu.
Besok di pagi yang cerah dengan persiapan yg matang, dengan rasa berat dan rasa ikhlas daun menutupkan matanya. Angin begitu kencangnya kala itu, ini saatnya daun menutup matanya lebih dalam lebih dalam makin dalam, dan tanpa disadarinya tangannya sudah melepas cengkraman ranting. Anginpun membawanya pergi, jauh dan makin jauh hingga hilang tak kembali.




Komentar

Postingan Populer