lab pangan

TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman
Dalam Rukmana (1997) sistematika tanaman ubi jalar diklasifikasikan ke
dalam golongan sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Solanales
Family : Convolvulaceae
Genus : Ipomoea
: Ipomoea batatas (L.) Lam
Spesies
Ada 2 tipe akar ubi jalar yaitu akar penyerap hara di dalam tanah dan akar
lumbung atau umbi. Akar penyerap hara berfungsi untuk menyerap unsur-unsur
hara yang ada dalam tanah, sedangkan akar lumbung berfungsi sebagai tempat
untuk menimbun sebagian makanan yang nantinya akan terbentuk umbi.
Kedalaman akar tidak lebih dari 45 cm. Biasanya sekitar 15 persen dari seluruh
akarnya yang terbentuk akan menebal dan membentuk akar lumbung yang
tumbuh agak dangkal. Ukuran umbi meningkat selama daun masih tetapi aktif
(Sonhaji, 2007).
Ubi jalar adalah tanaman dikotiledon tahunan dengan batang panjang
menjalar dan daun berbentuk jantung hingga bundar yang bertopang tangkai daun
tegak. Bagian tengah batang tempat tumbuhnya cabang lateral biasanya bengkok
dan bergantung pada panjang ruas batang, dapat terlihat berupa semak. Tipe kultivar yaitu semak, semak menjalar, atau menjalar, lebih ditentukan oleh
panjang ruas daripada oleh panjang batang, percabangan batang berbeda – beda
bergantung pada kultivar (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998).
Daun ubi jalar bentuknya berbeda-beda tergantung varietasnya. Tangkai
daun melekat pada buku-buku batang (Suparman, 2007).
Mahkota bunga menyatu membentuk terompet, berdiameter 3 – 4 cm,
berwarna merah jambu pucat dengan leher terompet kemerahan, ungu pucat atau
ungu, menyerupai warna bunga ‘mekar pagi’ (morning glory). Bunga mekar pada
pagi hari, dan menutup serta layu dalam beberapa jam. Penyerbukan dilakukan
oleh serangga. Biji berbentuk dalam kapsul, sebanyak 1 – 4 biji. Biji matang
berwarna hitam, bentuknya memipih, dan keras, dan biasanya
memerlukan pengausan (skarifikasi) untuk membantu perkecambahan
(Rubatzky dan Yamaguchi, 1998).
Waktu yang diperlukan mulai dari bibit ubijalar ditanam sampai dipanen
adalah sekitar 100-150 hari tergantung jenis ubi jalar dan keadaan lingkungan
tumbuhnya (Suparman, 2007).
Syarat Tumbuh
Iklim
Ubi jalar adalah tanaman tropis dan subtropis yang dapat beradaptasi
dengan daerah beriklim lebih memberikan suhu rata-rata tidak turun di bawah
20 °C dan suhu minimum tinggal di atas 15 °C. Untuk budidaya ubi jalar
temperatur antara 15 hingga 33 °C diperlukan selama siklus vegetatif, dengan
suhu optimal yang antara 20 hingga 25 °C. Temperatur rendah pada malam
mendukung pembentukan umbi-umbian, dan temperatur tinggi pada siang hari mendukung perkembangan vegetatif (perkembangan umbi-umbian hanya terjadi
dalam kisaran suhu 20 hingga 30 °C, optimum 25 °C dan umumnya berhenti di
bawah 10 °C). Ubi jalar adalah tanaman hari pendek, yang memerlukan cahaya
untuk pembangunan maksimum. Temperatur dan fluktuasi suhu bersama-sama
dengan hari-hari pendek mendukung pertumbuhan umbi-umbian dan membatasi
pertumbuhan dedaunan. Kelembaban memiliki pengaruh yang menentukan
pertumbuhan ubi dan produksi. Kadar air daun adalah (86%), batang (88,4%) dan
umbi (70,6%). Kelembaban penting untuk mencapai perkecambahan yang baik.
Tanah juga harus tetap basah selama masa pertumbuhan (60-120 hari), meskipun
pada panen kelembaban harus rendah untuk mencegah busuk umbi . Kondisi yang
mendukung perkembangan bagian vegetatif tanaman meliputi kelembaban relatif
80% dan tanah lembab (http://www.fao.org, 2008).
Tanah
Tanaman ubi jalar tidak tahan terhadap genangan air, tanah yang becek
atau berdrainase buruk dan akan mengakibatkan tanaman tumbuh kerdil, daun
menguning dan umbi membusuk. Tanaman ubi jalar dapat tumbuh pada keasaman
tanah (pH) 4,5-7,5, tetapi yang optimal untuk pertumbuhan umbi pada pH 5,5-7.
Sewaktu muda tanaman membutuhkan kelembaban tanah yang cukup
(Sarwono, 2005).
PERTANAMAN UBI JALAR PADA SISTEM ALLEY CROPING
Pengertian alley cropping
Sistem pertanaman lorong (alley croping) adalah suatu sistem di mana tanaman pangan ditanam pada lorong (alley) di antara barisan tanaman pagar. Pangkasan dari tanaman pagar digunakan sebagai mulsa yang diharapkan dapat menyumbangkan hara terutama nitrogen kepada tanaman lorong.
Teknik budidaya lorong telah lama dikembangkan dan diperkenalkan sebagai salah satu teknik konservasi tanah dan air untuk pengembangan sistem pertanian berkelanjutan pada lahan kering di daerah tropika basah, namun belum diterapkan secara meluas oleh petani (Juo, Caldwell, dan Kang, 1994). Pada budidaya lorong konvensional, tanaman pertanian ditanam pada lorong-lorong di antara barisan tanaman pagar yang ditanam menurut kontur. Barisan tanaman pagar yang rapat diharapkan dapat menahan aliran permukaan serta erosi yang terjadi pada areal tanaman budidaya, sedangkan akarnya yang dalam dapat menyerap unsur hara dari lapisan tanah yang lebih dalam untuk kemudian dikembalikan ke permukaan melalui pengembalian sisa tanaman hasil pangkasan tanaman pagar.
Sistem pertanaman lorong (alley cropping) merupakan teknik konservasi vegetatif, pada lahan berlereng ataupun datar. Tanaman legum pohon/ semak ditanam rapat dalam baris/pagar searah kontur, dengan jarak antar baris 5-10 meter, sehingga membentuk lorong. Tanaman pangan semusim ditanam pada lorong-lorong di antara dua baris tanaman legum tersebut. Pada lahan berlereng, tanaman pagar (legum) berfungsi menyaring tanah yang tererosi, dan penghasil pakan ternak,bahan mulsa, dan sumber kayu bakar. Pada lahan datar, fungsi utamanya adalah sebagai sumber pakan ternak, bahan mulsa, dan sumber kayu bakar.

Barisan tanaman pagar berperakaran dalam yang ditanam pada guludan diharapkan dapat memperkuat guludan untuk menahan aliran permukaan dan menyerap unsur hara dari subsoil untuk pendaur-ulangan unsur hara yang lebih efisien. Penanaman tanaman pagar pada guludan juga dapat berfungsi ganda, antara lain: (1) untuk memperkuat guludan, (2) menyerap kelebihan air dan unsur hara yang terkumpul di saluran untuk menghasilkan bahan organik, serta (3) mengurangi volume perakaran tanaman pagar yang dapat menjangkau dan bersaing dalam pengambilan air dan unsur hara dengan tanaman budidaya.

Keuntungan sistem pertanaman lorong:
Dapat menyumbangkan bahan organik dan hara terutama nitrogen untuk tanaman lorong.
Mengurangi laju aliran permukaan dan erosi apabila tanaman pagar ditanam secara rapat menurut garis kontur.
Masalah sistem pertanaman lorong:
Tanaman pagar mengambil sekitar 5-15% areal yang biasanya digunakan untuk tanaman pangan/tanaman utama. Untuk itu, perlu diusahakan agar tanaman pagar dapat memberikan hasil langsung. Hal ini dapat ditempuh misalnya dengan menggunakan gliricidia sebagai tanaman pagar dan sekaligus sebagai tongkat panjatan bagi vanili atau lada. Cara lain misalnya dengan menanam kacang gude (Gambar 4) sebagai tanaman pagar.
Sering terjadi persaingan antara tanaman pagar dengan tanaman utama untuk mendapatkan hara, air, dan cahaya. Cara mengatasinya adalah dengan memangkas tanaman pagar secara teratur supaya pertumbuhan akarnya juga terbatas.
Kadang-kadang terjadi pengaruh alelopati dan berkembangnya hama atau penyakit pada tanaman pagar yang dapat mengganggu tanaman pangan.
Tenaga kerja yang diperlukan untuk penanaman dan pemeliharaan tanaman pagar cukup tinggi

Efektivitas budidaya lorong pada lahan pertanian berlereng miring dalam pengendalian aliran permukaan dan erosi ditentukan oleh perkembangan tanaman pagar serta jarak antar barisan tanaman pagar. Pada awal penerapan budidaya lorong aliran permukaan dan erosi dapat menerobos tanaman pagar yang belum tumbuh merapat, meskipun ditanam lebih dari satu baris tanaman. Pada kondisi demikian, tanaman pagar kurang efektif dalam menghambat aliran permukaan dan menjaring sedimen yang terangkut, sehingga dapat menghanyutkan pupuk dan bahan organik. Setelah tanaman pagar berkembang, persaingan penyerapan air, unsur hara dan sinar matahari antara tanaman pagar dengan tanaman budidaya dapat mengurangi produksi tanaman yang dibudidayakan.
Persaingan sinar matahari oleh tajuk tanaman pagar dapat diatasi dengan memangkas tajuk tanaman pagar secara teratur selama musim pertanaman komoditas tanaman yang dibudidayakan di lorongnya, tetapi persaingan penyerapan air dan unsur hara oleh akar tanaman pagar sulit dihindari karena terus berkembang menyebar di dalam tanah pada areal tanaman budidaya. Sisa tanaman hasil pangkasan tanaman pagar disarankan untuk dikembalikan sebagai mulsa disebarkan di antara barisan tanaman budidya, sering dianggap sulit untuk dilakukan karena pangkasan cabang/ranting tanaman pagar relatif lebih sulit mengatur penyebarannya.
Kelemahan-kelemahan yang mengakibatkan kesulitan teknis dalam penerapan dan pemeliharaannya merupakan kendala bagi keberlanjutan dan penyebarluasan adopsi teknologi budidaya lorong oleh petani. Seringkali kegiatan pembinaan dalam penerapan teknologi konservasi tanah dan air memerlukan biaya mahal diluar kemampuan finansial petani sehingga bantuan pembiayaan yang dikeluarkan pada saat penerapan teknologi tersebut akan menjadi sia-sia karena tidak dilanjutkan oleh usaha pemeliharaan yang berkesinambungan. Meskipun penerapan teknik budidaya lorong telah banyak dilaporkan dapat mengurangi tingkat kerusakan lahan pertanian oleh erosi, etika ilmuwan dapat memotivasi kemampuan menalarnya berfalsafah memikirkan pengembangan sains bagi penyempurnaan teknologi yang dapat memudahkan pemakai teknologi memperoleh keuntungan maksimal akibat mengadopsi teknologi tersebut.
Pemanfaatan sisa tanaman sebagai mulsa vertikal untuk mengisi saluran teras gulud dapat mempunyai manfaat ganda, antara lain: (1) sebelum mengalami pelapukan sisa tanaman dapat mencegah longsornya dinding saluran serta melindungi permukaan resapan dari tumbukan air hujan dan penyumbatan pori oleh sedimen halus, (2) aktivitas organisme yang membantu proses pelapukan sisa tanaman bahkan dapat memperbaiki kondisi fisik tanah sekitar saluran dan meningkatkan daya resap saluran, (3) unsur hara yang dilepaskan selama proses pengomposan akan diserap oleh tanaman pagar yang kemudian dapat dikembalikan dalam bentuk sisa tanaman, (4) campuran kompos dan sedimen yang tertampung dalam saluran cukup gembur sehingga mudah diangkat dari saluran untuk dikembalikan ke bidang pertanaman setelah panen, dan (5) saluran yang sudah dikosongkan dapat digunakan untuk mengumpulkan sisa tanaman, sehingga dapat memudahkan persiapan lahan untuk musim tanam berikutnya (Brata, 1999).
Tindakan penyempurnaan budidaya lorong yang direncanakan lebih bersifat memaksimalkan fungsi saluran dan guludan untuk mempermudah pengomposan sisa tanaman, meningkatkan peresapan air, mengurangi persaingan air dan unsur hara, serta mempermudah pemeliharaan saluran dan guludan. Beberapa tambahan keuntungan tersebut diharapkan dapat mempermudah dan meningkatkan efisiensi pemanfaatan sisa tanaman serta upaya konservasi air dan unsur hara untuk mencegah erosi, banjir dan pencemaran perairan.
Suatu teknologi disamping mempunyai keunggulan juga mempunyai kelemahan. Beberapa kelemahan sistem Alley cropping diantaranya adalah :
1.Mengurangi luas areal tanam sebanyak ± 20 – 22 % (Alegre and Rao, 1996 ; Laseo et al., 1996)
2.Adanya penambahan biaya dan tenaga untuk penanaman, pemangkasan, pemulsaan dan pemeliharaan tanaman pagar. (Celestino, 1985 dalam Lasco et al., 1996 ; Mercado et al,. 2000 Sanchez, 1995).
3.Efek allelophati (mengeluarkan aksudat yang bersifat racun bagi tanaman) Cuezas and Samson, 1982 dalam Lasco et al,. 1996; Cagampang et al., 1985 dalam Lasco et al., 1996)
4.Interaksi yang tidak menguntungkan antara pohon dan tanaman pangan/semusim)
a. Kompetisi cahaya : naungan pohon, menurunkan intensitas cahaya pada level tanaman pangan/semusim (Mc Intyre et al., 1996 ; Hairiah et al., 2000 ; Garrity, 1996)
b. Kompetisi hara dan air : Sistem perakaran tanaman pagar yang dangkal akan berkompetisi dengan tanaman pangan semusim dalam hal hara dan air, menurunkan penyerapan oleh akar tanaman pangan/semusim (Hairiah et al., 2000)
c. Tanaman pagar bisa sebagai inang hama dan penyakit bagi tanaman pangan/semusim dan sebaliknya (Hairiah et al., 2000)
JENIS TANAMAN ALLEY CROPING
pohon pembatas difungsikan sebagai pembatas (tanaman sepanjang batas lahan milik) dan tanaman pertanian di tengah lahan. Penggunaan tanaman pertanian di tengah lahan tidak selalu menjadi alternatif model percampuran. Tanaman perkebunan khususnya kakao juga digunakan petani untuk mengisi bagian tengah pola pohon pembatas. Kakao ditanam secara sistematis dan sebagai pembatasnya adalah tanaman berkayu. Tanaman pembatas yang menyusun pola pohon pembatas sebagian besar disusun oleh jenis tanaman kehutanan. Jenis penyusunnya adalah mahoni, jati, sonokeling, dan akasia (Acacia auriculiformis A.Cunn.) alternate rows (pola baris), pola baris merupakan bentuk penyusunan pola tanam setiap satu baris tanaman berkayu diselingi dengan tanaman pertanian secara bergantian. Model penyusunan tanaman pada pola baris terlihat sistematis. Tanaman pertanian yang ditanam adalah jagung dan ketela, beberapa ada yang menanam pisang sebaris dengan tanaman berkayu. Tanaman berkayu yang ditanam adalah jenis-jenis tanaman perkebunan, yaitu kakao (Teobroma cacao L.), melinjo (Gnetum gnemon L.), rambutan (Nephelium lappceum L.), cengkeh (Syzygium aromaticum L.), dan petai (Parkia spesiosa Hassk.).
Tanaman berkayu pola lorong sebagian besar disusun oleh jenis-jenis pohon seperti mahoni (Swietenia macrophilla King.), sonokeling (Dalbergia latifolia Roxb.), dan jati (Tectona grandis Lf.). Jenis melinjo (Gnetum gnemon L.) juga ditemui dengan jumlah kecil pada tingkat tiang.
Budidaya lorong (alley cropping) dan strip rumput) merupakan
teknik konservasi vegetatif yang efektif dalam menekan erosi dan aliran
permukaan (Tabel 1). Prinsip dari kedua teknik konservasi ini adalah
sama, yaitu menanam tanaman konservasi dengan mengikuti garis kontur,
jarak antar barisan tanaman konservasi ditentukan oleh kemiringan lahan
(semakin miring jaraknya semakin rapat). Perbedaannya terletak pada
jenis tanaman konservasi yang dipilih. Pada sistem alley cropping, jenis
tanaman yang digunakan sebagai tanaman konservasi adalah tanaman
legume pohon atau perdu, sedangkan pada sistem tanaman strip adalah
tanaman rumput dan sejenisnya misalnya akar wangi (Vetiver).
DAFTAR PUSTAKA
Ai Dariah, H. Suganda, E. Suyitno, S.H. Tala’ohu, dan N. Sutrisno. 1995. Rehabilitasi lahan Alang-alang dengan sistem budidaya lorong di Pakenjeng, Kabupaten Garut. Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bidang Konservasi Tanah dan Air, dan Agroklimat. pp. 31-41.
Brata, K.R. 1993. Teknik Konservasi Tanah dan Air Tepat Guna Untuk Rehabilitasi Lahan. Bahan Kuliah Pembekalan KKN Mahasiswa Fakultas Pertanian IPB. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB, Bogor.
Brata, K.R. 1995a. Efektivitas mulsa vertikal sebagai tindakan konservasi tanah dan air pada pertanian lahan kering di Latosol Darmaga. J. Il. Pert. Indon 5(1):13-19.
Brata, K.R. 1995b. Peningkatan efektivitas mulsa vertikal sebagai tindakan konservasi tanah dan air pada pertanian lahan kering dengan pemanfaatan bantuan cacing tanah. J. Il. Pert. Indon 5(2):69-75.
Brata, K.R. 1995c. Teknik mulsa vertikal sebagai salah satu alternatif dalam membantu penyiapan lahan tanpa bakar di daerah transmigrasi. Makalah disampaikan pada Diskusi Teknis Staf Direktorat Pendayagunaan Lingkungan, di Dept. Trans. dan PPH, Jakarta.
Brata, K.R. 1999. The utilization of plant residues as vertical mulch to control runoff, erosion, and nutrient losses from sloping upland agriculture. Proc. Seminar Toward Sustainable Agriculture in Humid Tropics Facing 21st Century. Bandar Lampung, September 27-28, 1999. pp. 409-414.
El-Swaify, S.A. 1991. Effective resource conservation on hillslopes. In W.C. Moldenhauer, N.W. Hudson, T.C. Sheng and S.W. Lee (Eds.). Development of Conservation Farming on Hillslopes. SWCS. Ankeny. pp.93-100.
Fairbourn, M.L. and H.R. Gardner. 1974. Field use of microwatersheds with vertical mulch. Agron J. 66:740-744.
Juo, A.S.R., J.O. Caldwell, and B.T. Kang. 1994. Place for alley cropping in sustainable agriculture in the humid tropics. Trans. 15th World Congr. Soil Sci., Mexico 7a:98-109.
Kingsley, Q.S. and F.E. Shubeck. 1964. The effects of organic trenching on runoff. J. Soil and Water Conserv. 19:19-22
Nasoetion, A.H. 1988. Pengantar ke Filsafat Sains. Litera Antar Nusa. Bogor.
Parr, J.F. 1959. Effects of vertical mulching and subsoiling on soil physical properties. Agron J. 51:412-414.
Rachman, A., A. Abdurachman, dan Haryono. 1995. Erosi dan perubahan sifat tanah dalam sistem pertanaman lorong pada tanah Eutropepts, Ungaran. Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bidang Konservasi Tanah dan Air, dan Agroklimat. pp. 17-30.
Rama Mohan Rao, M.S., Ranga Rao, V., Ramachandram, M. and R.C. Agnihotri. 1978. Effects of vertical mulch on moisture conservation and yield of sorghum in Vertisols. Agric. Water Management. 1:333-342.
Siswomartono, D. and S. Wirodidjojo. 1990. Overview of soil conservation in Indonesia. Contour 2.1:13-16.
Spain, J. M. and D. L. McCune. 1956. Something new in subsoiling. Agron. J. 48:192-193.
Suriasumantri, J.S. 1988. Filsafat Ilmu. Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Tim Lembaga Penelitian IPB. 1995. Laporan Akhir Kaji Tindak (Action Research) Usaha Pertanian Lahan Kering Terpadu di Desa Sejuah, Kecamatan Kembayan, Kabupaten Sanggau, Propinsi DT I Kalimantan Barat. Lembaga Penelitian IPB, Bogor.

Komentar

Postingan Populer