pangan

        . TEKNOLOGI KONSERVASI TANAH
                             VEGETATIF
     Djoko Santoso, Joko Purnomo, I G. P. Wigena, dan Enggis Tuherkih
        Usaha tani tanaman pangan secara intensif dan menetap pada lahan
kering di daerah hujan tropis dihadapkan pada masalah penurunan produktivitas
lahan. Salah satu penyebabnya adalah tanahnya peka erosi, berlereng, masam
dan miskin unsur-unsur hara. Untuk mencapai keberlanjutan produktivitas lahan
perlu tindakan konservasi tanah dan air, serta mencegah hanyutnya serasah dan
humus tanah. Tujuan ini dapat dicapai dengan menerapkan teknologi konservasi
tanah secara vegetatif dan mekanik. Konservasi tanah pada lahan pertanian tidak
hanya terbatas pada usaha untuk mengendalikan erosi atau aliran permukaan,
tetapi termasuk usaha untuk mempertahankan kesuburan tanah. Konservasi
tanah vegetatif mencakup semua tindakan konservasi yang menggunakan
tumbuh-tumbuhan (vegetasi), baik tanaman legum yang menjalar, semak atau
perdu, maupun pohon dan rumput-rumputan serta tumbuh-tumbuhan lain, yang
ditujukan untuk mengendalikan erosi dan aliran air permukaan pada lahan
pertanian. Tindakan konservasi tanah vegetatif tersebut sangat beragam, mulai
dari pengendalian erosi pada bidang olah atau lahan yang ditanami dengan
tanaman utama, sampai dengan stabilisasi lereng dari bidang olah, saluran
pembuangan air (SPA), maupun jalan kebun.
        Untuk mencapai hasil maksimum dalam mengendalikan erosi dan aliran
permukaan, sebaiknya tindakan konservasi tanah vegetatif dikombinasikan
dengan teknik konservasi tanah mekanik. Dalam bab ini diuraikan delapan jenis
teknologi konservasi tanah vegetatif, yaitu: budi daya lorong, wanatani, penutup
tanah, penanaman rumput, pupuk hijau, mulsa, pola tanam, dan pematah angin.
                             BUDI DAYA LORONG
        Tantangan bagi para peneliti tanaman pangan semusim pada lahan kering
di daerah hujan tropis adalah untuk menemukan sistem pertanian yang produktif,
berkelanjutan dan ramah lingkungan, sebagai pengganti sistem perladangan
berpindah atau sistem tebang-bakar yang telah lama dilakukan oleh petani.
Sistem perladangan berpindah sudah tidak sesuai dan tidak dapat dilakukan lagi,
terutama karena tekanan kepadatan penduduk dan keperluan penggunaan lahan
untuk keperluan pembangunan yang lain. Dahulu dengan sistem perladangan
berpindah, pengembalian kesuburan atau produktivitas lahan dapat dilakukan
dengan membiarkan lahan tersebut bera dan ditumbuhi oleh semak belukar
selama beberapa tahun, dapat sampai 10 tahun atau lebih, sebelum lahan
                                                                              71
Konservasi Tanah Vegetatif
     4. TEKNOLOGI KONSERVASI TANAH
                             VEGETATIF
     Djoko Santoso, Joko Purnomo, I G. P. Wigena, dan Enggis Tuherkih
        Usaha tani tanaman pangan secara intensif dan menetap pada lahan
kering di daerah hujan tropis dihadapkan pada masalah penurunan produktivitas
lahan. Salah satu penyebabnya adalah tanahnya peka erosi, berlereng, masam
dan miskin unsur-unsur hara. Untuk mencapai keberlanjutan produktivitas lahan
perlu tindakan konservasi tanah dan air, serta mencegah hanyutnya serasah dan
humus tanah. Tujuan ini dapat dicapai dengan menerapkan teknologi konservasi
tanah secara vegetatif dan mekanik. Konservasi tanah pada lahan pertanian tidak
hanya terbatas pada usaha untuk mengendalikan erosi atau aliran permukaan,
tetapi termasuk usaha untuk mempertahankan kesuburan tanah. Konservasi
tanah vegetatif mencakup semua tindakan konservasi yang menggunakan
tumbuh-tumbuhan (vegetasi), baik tanaman legum yang menjalar, semak atau
perdu, maupun pohon dan rumput-rumputan serta tumbuh-tumbuhan lain, yang
ditujukan untuk mengendalikan erosi dan aliran air permukaan pada lahan
pertanian. Tindakan konservasi tanah vegetatif tersebut sangat beragam, mulai
dari pengendalian erosi pada bidang olah atau lahan yang ditanami dengan
tanaman utama, sampai dengan stabilisasi lereng dari bidang olah, saluran
pembuangan air (SPA), maupun jalan kebun.
        Untuk mencapai hasil maksimum dalam mengendalikan erosi dan aliran
permukaan, sebaiknya tindakan konservasi tanah vegetatif dikombinasikan
dengan teknik konservasi tanah mekanik. Dalam bab ini diuraikan delapan jenis
teknologi konservasi tanah vegetatif, yaitu: budi daya lorong, wanatani, penutup
tanah, penanaman rumput, pupuk hijau, mulsa, pola tanam, dan pematah angin.
                             BUDI DAYA LORONG
        Tantangan bagi para peneliti tanaman pangan semusim pada lahan kering
di daerah hujan tropis adalah untuk menemukan sistem pertanian yang produktif,
berkelanjutan dan ramah lingkungan, sebagai pengganti sistem perladangan
berpindah atau sistem tebang-bakar yang telah lama dilakukan oleh petani.
Sistem perladangan berpindah sudah tidak sesuai dan tidak dapat dilakukan lagi,
terutama karena tekanan kepadatan penduduk dan keperluan penggunaan lahan
untuk keperluan pembangunan yang lain. Dahulu dengan sistem perladangan
berpindah, pengembalian kesuburan atau produktivitas lahan dapat dilakukan
dengan membiarkan lahan tersebut bera dan ditumbuhi oleh semak belukar
selama beberapa tahun, dapat sampai 10 tahun atau lebih, sebelum lahan
72                                                                            Santoso et al.
tersebut dibuka kembali untuk ditanami tanaman pangan lagi. Sekarang praktek
tersebut makin sukar untuk dilakukan karena makin tingginya persaingan
penggunaan lahan (Kang et al., 1989).
        Sebagian besar tanah di daerah hujan tropis didominasi oleh tanah-tanah
mineral masam, yaitu Ultisol, Oxisol, dan Inceptisol yang secara alami mempunyai
pH rendah dan miskin unsur-unsur hara. Penurunan produktivitas tanah di daerah
tropis, meskipun pengelolaannya disertai dengan pemupukan, telah banyak
dilaporkan. Santoso et al. (1995) melaporkan bahwa penggunaan lahan secara
intensif dengan pemberian pupuk N, P, dan K ternyata mengakibatkan penurunan
produktivitas lahan karena terjadi ketidakseimbangan hara akibat pengurasan
unsur-unsur hara kalsium dan magnesium dari tanah (Tabel 1).
        Kegagalan usaha tani pada lahan kering di daerah hujan tropis
menunjukkan perlunya pendekatan lain untuk mendukung sistem pertanian yang
berkelanjutan. Pemberian mulsa dan pengolahan tanah minimum penting untuk
mempertahankan sifat-sifat kimia dan fisik tanah. Kedua teknik tersebut akan
lebih bermanfaat bila dikombinasikan dengan pengelolaan bahan organik tanah
secara biologis. Tujuan ini dapat dicapai dengan merancang masa bera yang
dapat menyediakan mulsa dan pupuk hijau setempat (in-situ). Karena sistem
perladangan berpindah dengan masa bera yang ditumbuhi semak belukar telah
lama dan secara luas dipraktekkan oleh petani di daerah tropis dan subtropis di
banyak tempat di dunia, maka penggantian sistem ini dengan sistem lain hampir
tidak mungkin. Sistem masa bera dengan semak belukar, selain peranannya
untuk mengembalikan tingkat kesuburan tanah dan menekan pertumbuhan gulma,
juga mempunyai peranan ganda, yaitu menyediakan banyak manfaat lain
termasuk sebagai sumber kayu bakar dan tempat untuk mencari hasil hutan serta
berbagai keperluan lain bagi petani. Oleh karena itu perlu dikembangkan sistem
yang dapat memperbaiki dan memperpendek atau menghilangkan masa bera,
tetapi tetap mempertahankan berbagai manfaat masa bera tersebut bagi petani.
        Pemahaman akan pentingnya peranan masa bera ini telah mendorong para
peneliti untuk mengembangkan sistem pengelolaan lahan yang baru. Suatu konsep
untuk memperbaiki kesuburan tanah yang dinamakan alley cropping system muncul
di awal tahun 1970-an dari hasil penelitian International Institute of Tropical Agriculture
(IITA) di Ibadan, Nigeria. Sistem tersebut dirancang untuk dapat menggunakan lahan
secara intensif tetapi tetap mempertahankan peranan ganda dari sistem masa bera
dengan semak belukar. Penelitian tersebut dilakukan di Nigeria Selatan dengan
menggunakan tanaman lamtoro (Leucaena leucocephala Lam.) sebagai tanaman
pagar (Kang et al., 1981; dan Kang et al. 1989).
                                                                                                                                                                                  73
Konservasi Tanah Vegetatif
Tabel 1.        Neraca hara dan perubahan status hara pada tanah lapisan atas (0-15 cm) dengan sistem budi daya lorong di Kuamang
                Kuning, Jambi (1990 – 1994)
                                                                          Neraca hara                                             Perubahan status hara dalam tanah
                   Perlakuan
                                                        N           P          K          Ca          Mg              N          P             K             Ca             Mg
                                                                             kg ha                                    %       mg kg                     Cmol(+) kg
                                                                                   -1                                               -1                             -1
 Budi daya lorong, pagar Flemingia sp.
 Tanpa pupuk                                         -18          -105         -88       -468          -274        -0.01       -3.6          -0.04          -2.02          -0.16
 Pupuk sedang                                        568           165         -32         -63          -30         0.03       39.6          -0.05          -1.23          -0.14
 Pupuk tinggi                                        999           367         199       3173           -23         0.00       80.1          -0.03           5.42          -0.07
 Penutup tanah Mucuna sp.
 Tanpa pupuk                                        -292           -26        -149       -319          -729        -0.01       -2.6          -0.05          -0.61          -0.14
 Pupuk sedang                                        -60            92        -123       -933          -624         0.00       37.0          -0.05          -0.50          -0.12
 Pupuk tinggi                                        918           301         101       2329          -529         0.00       63.4          -0.04           2.34          -0.12
 Sisa tanaman dibenamkan
 Tanpa pupuk                                        -860           -57        -232       -648         -1392        -0.04       -0.4          -0.07          -0.59          -0.15
 Pupuk sedang                                       -232           255        -243       -958          -939        -0.03       32.5          -0.05          -0.84          -0.17
 Pupuk tinggi                                        140           564          18       1338         -1033        -0.03       37.3          -0.05           2.43          -0.18
 Sisa tanaman dibakar
 Tanpa pupuk                                       -6412          -110        -311      -1465         -1758        -0.01       -0.8          -0.04          -0.10          -0.39
 Pupuk sedang                                       -129           315        -195       -582          -850         0.00       40.7          -0.04          -0.27          -0.21
 Pupuk tinggi                                        261           635          31       1807          -819        -0.01       52.0          -0.03           3.68          -0.30
Pupuk sedang: 45 kg N (padi gogo) atau 22,5 kg N (kacang tanah) dan 20 kg P ha -1 MT-1; Pupuk tinggi: 90 kg N (padi gogo) atau 45 kg N (kacang tanah), 40 kg P, dan 25 kg K ha -1
MT-1; Tanda (-) pada neraca hara berarti telah terjadi pengurasan hara atau penurunan status hara selama 4 tahun.
Sumber: Santoso et al. (1995).
74                                                                                              Santoso et al.
           Dalam alley cropping system ini, yang kemudian di Indonesia disebut
sebagai sistem budi daya lorong, tanaman pangan (semusim) sebagai tanaman
utama ditanam pada bidang olah di lorong-lorong (alleys) antara barisan-barisan
tanaman pagar (hedgerow crops) dari semak berkayu atau pohon legum, yang
secara berkala dipangkas untuk mengurangi naungan dan sebagai sumber bahan
organik. Tanaman semak atau pohon yang ditanam sebagai pagar tersebut tetap
mempunyai fungsi seperti pada sistem bera dengan semak belukar (bush-fallow
system), yaitu mendaur ulang unsur hara, sumber mulsa dan pupuk hijau,
menekan pertumbuhan gulma dan mengendalikan erosi (Gambar 1). Penggunaan
tanaman pagar legum lebih disenangi karena juga dapat menyediakan nitrogen
gratis bagi sistem pertanian ini. Oleh karena itu, sistem budi daya lorong dapat
juga disebut sebagai sistem bera dengan semak belukar yang diperbaiki, yaitu
dengan menggabungkan masa pertanaman dengan masa bera untuk
meningkatkan intensitas penggunaan lahan. Terdorong oleh keberhasilan
penelitian tersebut, maka kemudian banyak penelitian budi daya lorong lain
dilakukan di Afrika. Penelitian on-farm juga dilakukan sejak awal tahun 1980-an
dan dengan dimasukkannya ternak ruminansia kecil oleh International Livestock
Centre for Africa (ILCA) dalam sistem budi daya lorong dengan menggunakan
pakan ternak dari pangkasan tanaman pagar telah mengawali berkembangnya
konsep budi daya lorong (Kang et al., 1989).
                                                        Daun yang gugur dan pangkasan
                                                        menghasilkan mulsa. Hara yang berasal
                                                        dari tanaman dikembalikan ke tanah pada
                                                        saat mulsa terdekomposisi
Aliran permukaan dan
erosi dapat dikurangi
dengan mulsa
                                                                           Sisa tanaman dikembalikan ke
                                                                           tanah
Erosi tanah
terhalang
tanaman dan
semak
 Kontribusi nitrogen dari                            Hara tanah diserap                             Lereng
 jenis leguminose                                    tanaman
    Hara tanah terserap oleh
                                           Hara tanah tercuci dan
    akar dari pohon dan
                                           dialirkan ke dalam tanah
    semak
                                           lapisan bawah
         Unsur hara yang baru berasal dari
         hasil pelapukan batuan
Gambar 1.            Konsep sistem budi daya lorong (Sumber: Kang et al., 1989)
                                                                                                       75
Konservasi Tanah Vegetatif
           Di Indonesia, penelitian sistem budi daya lorong mulai banyak dilakukan
sejak akhir tahun 1980-an dan hasilnya juga menunjukkan bahwa sistem ini sangat
baik untuk mengendalikan erosi dan aliran permukaan (Suwardjo et al., 1988;
Adiningsih dan Mulyadi, 1993; Santoso et al., 1994). Misalnya, hanya dalam waktu
satu musim hujan, sistem budi daya lorong dengan Flemingia congesta [serengan
jantan (Indonesia), hahapaan (Sunda)] sebagai tanaman pagar telah menunjukkan
keunggulannya, yaitu menghambat erosi dan aliran permukaan menjadi rendah,
dibandingkan dengan tiga teknik pengelolaan tanah yang lain, yaitu pengolahan
tanah penuh dikombinasikan dengan penanaman tanaman penutup tanah benguk
(Mucuna munaneae), pengolahan tanah penuh dikombinasikan dengan sisa
tanaman dibenamkan, dan pengolahan tanah minimum dikombinasikan dengan
sisa tanaman dibakar (Tabel 2).
Tabel 2. Pengaruh pengolahan tanah, pengelolaan bahan organik dan
              pemupukan terhadap hasil tanaman, erosi dan aliran permukaan
              selama 6 bulan (Oktober 1989 – Mei 1990) pada tanah Typic Kandiudox
              dengan lereng 8-15% di Kuamang Kuning, Jambi
                                                               Hasil tanaman
         Pengelolaan tanah dan pemupukan
                                                                                    Tanah       Aliran
 Budi daya lorong            Pengolahan    Takaran        Gabah        Biji kacang tererosi  permukaan
 dan pengelolaan                tanah       pupuk*                        tanah
 bahan organik
                                                                            t ha-1             m3 ha-1
                             Minimum
 Budi daya lorong,                          Tanpa         0,4 b          0,1 f      34,0 bcd  3.875 abc
 sisa panen                                 Sedang        1,6 a          0,4 cd     1,1 de    1.454 ef
 dimulsakan                                 Tinggi        1,9 a          0,5 bc     0,6 e     1.016 f
                             Penuh
 Tanpa budi daya                                          0,7 b          0,1 f      10,7 cde  4.609 ab
                                            Tanpa
 lorong, penutup                            Sedang        2,0 a          0,3 cd     4,9 cde   3.210 bcd
 tanah Mucuna, sisa                         Tinggi        2,4 a          0,5 bc     6,4 cde   2.467 c-f
 panen dimulsakan
                             Penuh
 Tanpa budi daya                            Tanpa         0,5 b          0,1 ef     100,0 a   5.083 a
 lorong, sisa panen                         Sedang        2,0 a          0,4 bc     36,1 bc   4.528 ab
 dibenamkan                                 Tinggi        1,8 a          0,7 a      24,7 de   3.012 b-e
                             Minimum
 Tanpa budi daya                            Tanpa         0,9 b          0,2 ef     52,8 b    5.129 a
 lorong, sisa panen                         Sedang        1,7 a          0,3 cde    13,5 cde  2.979 b-e
 dibakar                                    Tinggi        2,2 a          0,6 ab     13,7 cde  3.050 b-e
* Takaran pupuk: tanpa, sedang, dan tinggi mengikuti keterangan Tabel 1.
    Sumber: Hafif et al., 1992.
           Flemingia congesta sebagai tanaman pagar mampu menghambat laju
aliran permukaan dan menghasilkan pangkasan biomassa banyak (3–9 t ha-1 6
bulan-1), dapat digunakan sebagai mulsa untuk melindungi tanah dari daya rusak
butiran air hujan. Pengaruh tidak langsung dari sistem budi daya lorong adalah
mempertahankan kadar bahan organik tanah dan memperbaiki sifat-sifat kimia,
fisika, dan biologi tanah (Hafif et al., 1992). Selain menunjukkan peranan budi
daya lorong, dengan tanaman pagar Flemingia congesta, penelitian ini juga
76                                                                         Santoso et al.
menunjukkan peranan pemupukan dalam mengendalikan erosi dan aliran
permukaan (Tabel 2). Perlakuan tanpa budi daya lorong dengan sisa panen
dibakar, dikombinasikan dengan pemberian pupuk takaran sedang dan tinggi
berturut-turut menghasilkan tanah tererosi sebesar 13,5 dan 13,7 t ha-1. Pada
perlakuan tanpa pupuk menghasilkan tanah tererosi jauh lebih banyak yaitu 52,8 t
ha-1. Penelitian tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa pemupukan dapat
mengurangi erosi dan aliran permukaan, karena tanaman yang dipupuk dapat
tumbuh dan menutup permukaan tanah jauh lebih cepat daripada tanaman yang
tidak dipupuk. Penutupan permukaan tanah secara rapat dan cepat oleh tajuk
tanaman adalah suatu teknik konservasi yang sangat efektif, khususnya dari erosi
percikan air hujan. Jadi pemupukan merupakan langkah awal konservasi tanah,
yaitu untuk menghasilkan pertumbuhan tanaman yang baik, yang sekaligus juga
berperan sebagai penutup tanah yang baik.
         Pemberian pupuk yang dikombinasikan dengan sistem budi daya lorong
mempunyai pengaruh sinergis dalam mengendalikan erosi dan aliran permukaan
serta peningkatan produksi tanaman. Perlakuan budi daya lorong tanpa pupuk
menghasilkan gabah dan biji kacang tanah 0,4 dan 0,1 t ha-1 dan tanah tererosi dan
aliran permukaan 34,0 t ha-1 dan 3.875 m3 ha-1. Sistem budi daya lorong dengan
pemupukan takaran sedang memberikan hasil gabah dan biji kacang tanah lebih
tinggi (1,6 dan 0,4 t ha-1) dibandingkan dengan tanpa pupuk. Bersamaan dengan itu,
tanah tererosi dan aliran permukaan sangat berkurang dibandingkan dengan yang
tidak dipupuk, yaitu menjadi 1,1 t ha-1 dan 1.454 m3 ha-1. Pemberian pupuk takaran
tinggi meningkatkan hasil tanaman dan mengurangi erosi dan aliran permukaan.
         Penerapan sistem budi daya lorong pada lahan berlereng mampu membentuk
teras alami setinggi 20–30 cm dalam waktu 4 tahun (Sutono et al., 1998). Dengan
terbentuknya teras, maka panjang lereng berkurang dan kemiringan lahan di masing-
masing bidang olah juga berkurang. Teras alami terbentuk karena sedimen yang
terbawa oleh aliran permukaan tertahan oleh barisan tanaman pagar. Pembentukan
teras dipercepat dengan pengolahan tanah, karena setelah diolah tanah menjadi
gembur dan lepas sehingga erosi menjadi lebih tinggi. Selain dapat menekan erosi
dan aliran permukaan, budi daya lorong juga menekan kehilangan unsur-unsur hara
dari bidang olah. Agus (2000) melaporkan bahwa sistem budi daya lorong dapat
menekan kehilangan hara N, P, dan K hingga menjadi seperlimanya. Kehilangan hara
dapat ditekan lebih rendah lagi bila diikuti dengan tindakan konservasi tanah yang lain,
misalnya pemberian mulsa dan pengolahan tanah minimum.
         Meskipun sistem budi daya lorong mempunyai berbagai kelebihan, sistem ini
juga memiliki beberapa kelemahan, yaitu luas bidang olah berkurang, perlu tambahan
tenaga untuk pemeliharaan dan pemangkasan atau panen tanaman pagar, dan
adanya sifat alelopati dan jenis tanaman pagar tertentu. Selain itu juga dilaporkan
terjadi persaingan antara tanaman pagar dengan tanaman pokok dalam serapan hara,
cahaya dan air sering mengurangi dampak positif dari budi daya lorong (van
                                                                                                 77
 Konservasi Tanah Vegetatif
 Noordwijk et al., 1998). Keuntungan budi daya lorong baru dapat dirasakan dalam
 jangka panjang. Kenyataan ini sering membuat petani kurang tertarik untuk
 menerapkan sistem ini pada lahan pertaniannya. Petani cenderung untuk mendapat
 keuntungan berjangka pendek dan kemudahan pengerjaannya di lapangan. Oleh
 karena itu, pemilihan tanaman pagar perlu mempertimbangkan hal-hal tersebut, agar
 didapatkan hasil yang optimum. Pemilihan jenis tanaman pagar juga perlu
 mempertimbangkan peranan ganda tanaman pagar tersebut. Petani di Desa Kubang
 Ujo, Kabupaten Sarolangun Jambi lebih memilih tanaman pagar rumput raja atau
 rumput gajah dibandingkan Flemingia congesta, karena hasil pangkasan rumput
 dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak dan tetap berperan sangat nyata dalam
 menekan erosi (Anonymous, 1993; Agus, 2000). Irawan et al. (2000) mengemukakan
 bahwa penelitian dan pengembangan teknologi budi daya lorong sebaiknya dilakukan
 dengan menggunakan pendekatan partisipatif, yaitu dengan melibatkan petani sejak
 dari perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi serta diseminasi hasilnya.
 Pendekatan tersebut penting agar teknologi yang dikembangkan sesuai dengan
 keinginan dan potensi petani sehingga lebih banyak petani akan mengadopsinya.
           Erfandi et al. (1988) melaporkan bahwa tanaman pagar Flemingia
 congesta lebih baik dalam memperbaiki sifat fisik tanah, terutama berat isi dan
 menghasilkan C-organik tanah lebih tinggi dibandingkan dengan lamtoro dan
 kaliandra (Caliandra calotyrsus) (Tabel 3). Hal ini disebabkan pangkasan
 Flemingia congesta lebih banyak, dan dengan semakin kecilnya berat isi berarti
 tanah menjadi lebih gembur, sehingga pengolahan tanah minimum dapat
 dianjurkan.
 Tabel 3. Pengaruh tanaman pagar dalam sistem budi daya lorong terhadap sifat
              fisik, kimia, dan hasil kedelai musim tanam 5 di Kuamang Kuning, Jambi
                                                                        Bahan           Kedelai
                                Ruang       Pori        Pori    Air
                                                                        organik
                               pori total drainase   drainase  terse
 Tanaman pagar       Berat isi
                                           cepat      lambat    dia  C        N   Biomassa       Biji
                      g cm-3                  % volume                     %             t ha-1
L. leucocephala        1,12      56,2       20,4         4,6  12,5    2,63   0,18   1,3         0,6
F. congesta            1,08      59,2       25,6         5,3  14,6    2,85   0,20   1,5         0,7
C. calotyrsus          1,10      57,4       24,1         4,8  13,6    2,73   0,16   1,6         0,8
Tanpa                  1,28      51,7       13,7         4,0  11,3    1,31   0,07   0,9         0,4
 Sumber: Erfandi et al. (1988)
           Agro-silvi-pastura merupakan suatu bentuk modifikasi (variant) dari sistem
 budi daya lorong yang memadukan tanaman pangan, tanaman pohon (hutan)
 sebagai pagar, dan pastura atau padang penggembalaan pada lorongnya (alley).
 Sistem ini dapat dibangun dari pastura alami yang rusak akibat penggembalaan
 berlebihan (over grazing) dengan memperbaiki tata botaninya melalui introduksi
78                                                                                         Santoso et al.
rumput dan legum unggul yang dapat beradaptasi dan memberikan pupuk untuk
meningkatkan kesuburan tanah. Hutan pastura terdiri atas komponen pastura yang
dikombinasikan dengan komponen tanaman hutan atau kayu-kayuan yang ditanam
membentuk pagar. Jika pasturanya luas, maka letak komponen agro (pertanian)
dan pastura-nya dapat diatur berselang-seling di antara tanaman pagar. Fungsi
tanaman pohon yang diatur sebagai pagar adalah untuk mengurangi erosi,
mengurangi kecepatan dan mematahkan arah angin, penghasil kayu, sumber
pakan, serta tempat ternak berlindung dari panas sinar matahari dan tiupan angin
yang kencang. Sukristiyonubowo et al. (1998) mengemukakan bahwa hutan pastura
meningkatkan kadar bahan organik dan P-tanah, keanekaragaman hayati yang
mendekati sistem hutan, serta meningkatkan produksi hijauan pakan ternak dan
daya dukung ternak sapi (Tabel 4 dan 5). Dalam 5 tahun (1993–1998) sistem hutan
pastura meningkatkan kadar C-organik sebesar 2-3 kali lipat. Sistem hutan pastura
juga mempengaruhi iklim mikro, di mana selisih suhu udara antara siang dan malam
pada hutan pastura relatif lebih kecil dibandingkan pastura tanpa hutan, demikian
juga kelembapan udara juga lebih baik (Sukristiyonubowo et al., 2000).
Tabel 4.        Pengaruh sistem hutan pastura terhadap sifat kimia tanah di
                Selengen, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB)
                                          Sebelum penelitian                Selama penelitian
             Sifat tanah
                                                1994                  1995/1996           1996/1997
  pH-H2O                                           6,7                    6,2                6,4
                                                   0,62                   0,98               1,24
  C-organik (%)
  N-Kjedhal (%)                                    0,06                   0,09               0,10
                                                 127                   239                   -
  P-HCl 25% (mg P2O5 100g-1)
                                                  10                    64                  80
  P-Olsen (ppm P2O5)
Sumber: Sukristiyonobowo et al. (1998)
Tabel 5.      Pengaruh sistem hutan pastura terhadap hasil hijauan pakan di
              Selengen, Lombok Barat, NTB
                                                                  Hasil hijauan
         Tata botani pastura                  MK 1996            MH 1996/97              MH 1996/97
                                             HP      THP        HP          THP          HP        THP
                                                                      t ha-1
Pastura alami                             4,9c*      2,2b     11,3c        9,1 c      12,8 b       7,6b
Pastura alami + Paspalum sp.              12,2ab     3,9a     21,1a       15,9 a      16,0 ab     15,0a
Pastura alami + Arachis gambrata          10,6b      3,7a     17,8b       10,0 bc     15,1 ab      8,9b
Pastura alami + Paspalum sp. + A.         15,1a      4,5a     22,8a       12,4 b      16,2 a      14,5a
gambrata
* Angka dalam kolom yang sama yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata pada uji LSD 5%.
   HP = dengan hutan pagar; THP = tanpa hutan pagar
   Sumber: Sukristiyonobowo et al. (1998)
                                                                                79
Konservasi Tanah Vegetatif
                                     WANATANI
        Sistem wanatani (agroforestry) adalah sistem penggunaan lahan yang
mengintegrasikan tanaman pangan, pepohonan dan atau ternak secara terus-
menerus ataupun periodik, yang secara sosial dan ekologis layak dikerjakan oleh
petani untuk meningkatkan produktivitas lahan dengan tingkat masukan dan
teknologi rendah (Nair, 1989). King (1989) mendefinisikan bahwa wanatani adalah
sistem pengelolaan lahan berkelanjutan yang mampu meningkatkan produktivitas
lahan secara total, mengkombinasikan tanaman pangan (termasuk tanaman
tahunan), tanaman hutan dan atau ternak secara terus-menerus atau periodik
pada lahan yang sama, mengaplikasikan tingkat pengelolaan yang bersaing
dengan kebudayaan masyarakat di sekitarnya.
        Semua definisi wanatani tersebut di atas mengimplikasikan bahwa: (1)
terdapat interaksi yang kuat, baik kompetitif maupun komplementer antara
komponen pohon-pohonan dan bukan pepohonan; (2) terdapat perbedaan yang
nyata antara masing-masing komponen wanatani dalam dimensi fisik, umur, dan
penampilan fisiologi; (3) wanatani umumnya mengintegrasikan dua atau lebih
jenis tanaman (atau tanaman dan ternak), di mana paling tidak salah satunya
merupakan tanaman berkayu; (4) wanatani selalu mempunyai dua atau lebih
hasil; (5) siklus wanatani selalu lebih dari satu tahun; (6) walaupun dalam bentuk
sederhana, secara ekologi dan ekonomi wanatani lebih kompleks dibandingkan
dengan usaha tani monokultur; dan (7) wanatani dapat diterapkan pada lahan-
lahan yang berlereng curam, berbatu-batu, berawa ataupun tanah marginal di
mana sistem usaha tani lainnya kurang cocok.
        Sistem wanatani pada dasarnya merupakan sistem usaha tani dimana
pepohonan merupakan bagian integral dari usaha tani tersebut. Sedangkan
tanaman pangan tetap ditanam untuk mendukung kebutuhan keluarga akan
pangan. Dengan demikian wanatani merupakan suatu sistem pengelolaan lahan
pertanian yang mampu melestarikan sumber daya lahan dan sekaligus
memberikan hasil hutan dan pangan bagi petani.
        Sistem budi daya lorong seringkali dikelompokkan sebagai salah satu jenis
sistem wanatani, tetapi kedua sistem tersebut mempunyai latar belakang
pemikiran dan proses pengembangan yang berbeda, serta pengaturan letak
tanamannya juga berbeda. Dalam sistem budi daya lorong letak tanaman
pagarnya teratur, sehingga membentuk lorong-lorong, sedangkan dalam sistem
wanatani letak tanamannya tidak teratur dan tidak membentuk lorong. Oleh
karena itu, dalam buku ini kedua sistem tersebut dibedakan.
        Wanatani telah lama dipraktekkan oleh petani di seluruh dunia dengan
menanam berbagai jenis pepohonan dikombinasikan dengan tanaman semusim.
Pada sistem ini, hutan dibuka dengan cara tebang-tebas, hasil tebangan dibakar,
80                                                                    Santoso et al.
kemudian ditanam tanaman semusim. Tanaman pohon ditanam bersamaan
dengan penanaman tanaman semusim, atau setelah tanaman semusim tumbuh
ataupun sesudah tanaman semusim dipanen. Pada daerah beriklim tropis di
Amerika, petani menerapkan sistem usaha tani pada luasan sempit yang
menyerupai kondisi hutan untuk memperoleh keuntungan yang dapat
disumbangkan oleh sistem hutan. Pada lahan tersebut ditanam berbagai jenis
tanaman berupa pohon hutan, kelapa atau pepaya dikombinasikan dengan
tanaman perdu berupa kopi atau coklat serta tanaman pangan berupa jagung dan
akhirnya disebarkan benih rumput untuk menutupi permukaan tanah.
       Di Asia, terutama di Filipina, petani juga sudah menerapkan sistem
wanatani. Hutan dibuka secara selektif di mana beberapa jenis pohon hutan tetap
dipelihara untuk memperoleh manfaat, antara lain kayu bahan bangunan, bahan
obat-obatan atau kosmetik; sedangkan di sela-sela pepohonan ditanam tanaman
pangan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Di Nigeria, beberapa tanaman
pangan seperti jagung, bayam dan kacang-kacangan ditanam secara bersamaan
di bawah populasi pepohonan hutan. Selain itu, campuran tanaman rumput-
rumputan dengan semak dan pepohonan telah lama diterapkan secara intensif
untuk mengurangi erosi, aliran permukaan dan memelihara kesuburan tanah. Ada
empat pertimbangan yang mendorong perkembangan wanatani, yaitu: (1)
wanatani tidak mengganggu hutan, terutama fungsi hutan dalam memelihara
kelestarian sumberdaya lahan; (2) ancaman kerusakan hutan biasanya lebih
ditentukan oleh perilaku petani; (3) sudah dirasakan oleh petani bahwa akan lebih
menguntungkan jika hutan alami dirubah menjadi sistem wanatani; dan (4) telah
didemonstrasikan bahwa sistem hutan alami memerlukan biaya tinggi yang
disebabkan oleh lamanya periode pemeliharaan (King, 1989).
       Pada saat ini dikenal enam jenis wanatani, yaitu: tanaman sela, talun,
kebun campuran, pekarangan, tanaman pelindung, dan pagar hidup.
                                   Tanaman sela
       Dillihat dari perkembangan tajuk tanaman tahunan, terdapat dua model
pertanaman sela, yaitu: pertanaman sela terus-menerus dan pertanaman sela
periodik. Pertanaman sela terus-menerus adalah penanaman tanaman pangan
semusim atau menahun, palawija, atau rumput pakan di antara tanaman tahunan
yang sudah menghasilkan. Pada sistem ini, tajuk tanaman tahunan tidak rapat,
sehingga memungkinkan untuk membudi dayakan tanaman lainnya yang memiliki
tajuk lebih rendah dari tanaman tahunan. Pengaturan tanaman dilakukan
sedemikian rupa, sehingga interaksi antar tanaman tidak saling merugikan.
Penanaman coklat, pisang, ubi kayu, padi gogo, nanas, atau jagung di antara
barisan kelapa adalah salah satu contoh pertanaman sela terus-menerus.
                                                                             81
Konservasi Tanah Vegetatif
        Tanaman sela sementara adalah penanaman tanaman pangan semusim,
palawija atau rumput pakan di antara tanaman tahunan yang tajuknya belum
menutupi seluruh permukaan tanah. Jika tajuk tanaman tahunan sudah menutupi
seluruh permukaan tanah, maka tanaman semusim tidak dapat dibudi dayakan
lagi. Penanaman jagung, padi gogo, kacang tanah, dan sayuran dataran rendah
di antara barisan tanaman kelapa sawit muda atau karet merupakan contoh
tanaman sela sementara.
        Teknik tanaman sela berkembang pesat di daerah perkebunan dengan
tujuan untuk memberikan penghasilan yang cepat kepada petani selama
menunggu tanaman perkebunan menghasilkan atau pendapatan tambahan pada
tanaman tahunan yang tajuknya tidak menutupi seluruh permukaan tanah.
Beberapa keuntungan dari pertanaman sela adalah: memberikan pendapatan
dalam waktu singkat kepada petani pengelola kebun; mencegah pertumbuhan
gulma yang dapat merugikan tanaman tahunan; dan meringankan pemeliharaan
tanaman tahunan karena pemberian pupuk dan pengendalian hama/penyakit
tanaman sela meningkatkan kesuburan tanah dan mengurangi gangguan
hama/penyakit bagi tanaman tahunan. Kekurangan dari sistem tanaman sela
adalah: tanaman semusim atau tahunan bertajuk rendah dapat menjadi inang
hama/penyakit yang menyerang tanaman tahunan; tanaman sela dengan
tanaman semusim hanya cocok diterapkan pada lahan dengan lereng <30%,
karena pada lereng yang lebih curam akan mempercepat erosi; dan memerlukan
banyak tenaga dan biaya.
                                       Talun
        Talun adalah lahan di luar areal permukiman yang ditumbuhi oleh tanaman
hutan dan tanaman tahunan lainnya. Karena komponen tanamannya tumbuh
sendiri, maka proporsi dan jarak tanamnya tidak teratur. Dalam kenyataannya,
sistem ini lebih menyerupai hutan sekunder yang tumbuh setelah hutan primer
dibuka, ditanami tanaman pangan dan setelah beberapa tahun ditinggalkan
karena produktivitas lahannya rendah. Oleh karena itu, talun berasosiasi erat
dengan peladangan berpindah di daerah Sumatera dan Kalimantan yang pada
umumnya menumbuhkan hutan karet rakyat.
                                 Kebun campuran
        Kebun campuran mirip dengan talun, tetapi komponen tanaman hutan dan
tanaman tahunan lainnya sengaja ditanam. Jenis tanaman tahunan yang sengaja
ditanam antara lain petai, jengkol, aren, melinjo, sengon, dan buah-buahan.
Kadang-kadang sebagian lahan ditanami dengan tanaman pangan semusim.
Tetapi komponen tanaman tahunan dalam sistem kebun campuran lebih dominan
dibandingkan dengan tanaman semusim. Di Filipina, India, dan Kenya dikenal
82                                                                  Santoso et al.
dengan istilah taungya, yang berarti sehamparan lahan di daerah pegunungan.
Jika proporsi tanaman semusim lebih luas daripada tanaman tahunan, maka
sistem ini disebut tegalan.
                                   Pekarangan
        Pekarangan adalah penanaman tanaman tahunan dan tanaman pangan
semusim atau menahun serta sering dikombinasikan dengan pemeliharaan ternak
terutama jenis ruminansia dan unggas di sekitar rumah. Sistem ini berkembang
baik di daerah transmigrasi, dimana untuk setiap rumah tangga disediakan lahan
pekarangan sekitar 0,25 ha untuk ditanami tanaman tahunan, tanaman pangan,
tanaman obat-obatan, dan sering diiringi dengan pembuatan kandang ternak
ruminansia dan unggas.
                              Tanaman pelindung
        Tanaman pelindung adalah tanaman tahunan bertajuk tinggi yang sengaja
ditanam dengan tujuan untuk melindungi tanaman semusim atau tanaman
perkebunan bertajuk rendah (berupa perdu) dari kelebihan intensitas sinar
matahari dan pengaruh buruk dari angin dingin. Untuk mengurangi persaingan
unsur hara dengan tanaman yang dilindungi, proporsi tanaman pelindung lebih
sedikit daripada tanaman yang dilindungi dan dipilih tanaman jenis leguminosa
berkayu. Tanaman dadap yang ditanam di sela-sela barisan tanaman kopi
merupakan salah satu contoh tanaman pelindung. Persyaratan tanaman
pelindung adalah:
∗ Memiliki tajuk tinggi,
∗ Memiliki perakaran yang dalam, sehingga dapat mendaur ulang unsur hara
   dari lapisan tanah yang dalam, dan mengurangi persaingan dengan tanaman
   pokok,
∗ Termasuk jenis legum berkayu, sehingga dapat memfiksasi nitrogen dari udara
   untuk tanaman pokok,
∗ Tidak mudah rebah atau patah, sehingga tanaman pokok tidak mengalami
   kerusakan, dan
∗ Mampu mengurangi kerusakan tanaman pokok dari pengaruh jelek angin
   terutama di daerah beriklim kering dan kena pengaruh angin dingin dari Benua
   Australia.
                                                                              83
Konservasi Tanah Vegetatif
                                   Pagar hidup
         Pagar hidup adalah barisan tanaman tahunan jenis perdu atau pohon
sepanjang batas pemilikan lahan yang ditanam dengan jarak tanam rapat,
dipangkas pada ketinggian 1,5 - 2 m. Selain sebagai batas pemilikan lahan, pagar
hidup dapat berfungsi sebagai pencegah orang, ternak pemakan rumput/tanaman
masuk ke lahan dan merusak tanaman, sumber pakan ternak serta menahan
erosi. Persyaratan yang diperlukan untuk tanaman pagar hidup adalah:
•      berperakaran dalam, sehingga dapat mendaur ulang unsur hara dari lapisan
       tanah yang dalam, mengurangi persaingan dengan tanaman pokok, dan
       mampu mencegah erosi,
•      tahan dipangkas secara periodik,
•      menghasilkan banyak bahan hijauan segar untuk pakan ternak atau
       menghasilkan banyak bahan kayu bakar,
•      bukan sebagai inang hama/penyakit bagi tanaman pokok,
•      untuk daerah beriklim kering seperti di Nusa Tenggara, dipilih tanaman
       yang tahan kering, sehingga tidak mati selama kemarau panjang, dan
•      diusahakan dari jenis legum perdu karena kualitas pakan ternak akan lebih
       baik dan dapat memfiksasi nitrogen dari udara untuk tanaman pokok.
                                  POLA TANAM
         Pola tanam adalah sistem pengaturan pertanaman berdasarkan distribusi
curah hujan, baik pola tanam monokultur maupun tumpang sari pada tanaman
hampir sama umur pada sebidang tanah sebagai salah satu strategi untuk
menjamin keberhasilan usaha tani lahan kering. Dalam pengembangannya pola
tanam ini sangat tergantung kepada jenis tanah, iklim, topografi, dan pemasaran
hasil. Lahan dengan kemiringan < 8% dapat mendukung usaha tanaman pangan
sebagai tanaman utama. Adapun kemiringan >8%, pertanaman diusahakan
searah kontur atau teras dan tanaman pangan tidak lagi berfungsi sebagai
tanaman utama, melainkan sudah beralih ke tanaman tahunan seperti karet,
kelapa sawit dan tanaman tahunan lainnya (Effendi, 1984).
         Dengan meningkatkan intensitas tanaman, maka bukan hanya
produktivitas lahan yang ditingkatkan, tetapi sekaligus juga merupakan tindakan
konservasi vegetatif. Tertutupnya lahan hampir sepanjang tahun akan
mengurangi erosi serta menghasilkan sisa tanaman sebagai bahan organik. Sisa
tanaman jika dimulsakan atau dibenamkan dapat mensuplai unsur hara, menutup
tanah sehingga terhindar dari kerusakan tanah akibat hujan, mempertinggi
stabilitas agregrat dan kapasitas tanah menahan air. Menurut Sanders (1991),
84                                                                  Santoso et al.
sistem usaha tani berkelanjutan merupakan suatu usaha pengelolaan lahan–
tanaman yang dapat meningkatkan produksi tanaman per satuan luas dan waktu,
melindungi tanah dari kerusakan air dan angin, meningkatkan kesuburan tanah
dan bahan organik, memaksimumkan resapan air serta layak secara ekonomis.
        Pola tanam harus disesuaikan dengan persyaratan tumbuh tanaman dan
ketersediaan air atau distribusi curah hujan di daerah setempat (Gambar 2). Hal
ini untuk menghindari tanaman dari kekeringan dan kebanjiran serta gangguan
hama dan penyakit. Pemilihan kombinasi tanaman harus tepat, dapat
memanfaatkan ruang dan waktu seefisien mungkin, serta dapat menekan
pengaruh kompetisi sekecil mungkin.
Gambar 2.     Diagram pola tanam tanaman semusim berdasarkan distribusi curah
              hujan di Kubang Ujo, Jambi (Sumber: Tuherkih, 1996).
        Beberapa sistem pola tanam yang dapat dikembangkan pada lahan kering
yang sekaligus merupakan tindakan konservasi vegetatif adalah:
                                                                                        85
Konservasi Tanah Vegetatif
                         Pertanaman campuran (mixed cropping)
        Pertanaman campuran adalah sistem penanaman lebih dari satu macam
tanaman semusim pada lahan dan waktu yang sama dengan pola tidak teratur.
Jenis tanaman yang diusahakan biasanya terdiri atas tanaman semusim seperti
padi gogo, palawija atau sayuran. Kadang-kadang lahan ditanami dengan
tanaman tahunan seperti jati, sonokeling, dan mahoni sebagai pembatas
pemilikan lahan. Tetapi berbeda dengan kebun campuran, komponen tanaman
semusim dalam sistem pertanaman campuran lebih dominan. Tujuannya untuk
konsumsi pangan, pakan, kayu bangunan rumah, dan kayu bakar.
                      Pertanaman berurutan (sequential cropping)
        Pertanaman berurutan adalah sistem penanaman dengan dua tanaman
atau lebih secara berurutan/bergilir. Pola tanam dapat berupa padi gogo – kacang
tanah - kacang tunggak atau jagung – kacang tanah – tanaman penutup tanah
atau tanaman pupuk hijau. Tanaman pertama biasanya ditanam pada awal musim
hujan dan setelah panen tanah diolah lagi kemudian ditanam tanaman kedua.
Tanaman ketiga ditanam tergantung dari ketersediaan air, kalau tidak
memungkinkan biasanya tanah diberakan sampai musim hujan berikutnya.
        Benguk dan kacang tunggak (Vigna sinensis) dapat ditanam pada musim tanam
ketiga dalam pola pergiliran tanaman lahan kering untuk mencegah merosotnya
produktivitas tanah. Selama empat bulan (Mei-Agustus) benguk dan kacang tunggak
mampu menghasilkan biomassa sebesar 8 dan 5 t ha-1 (Purnomo et al., 1992).
Tanaman penutup tanah kacang-kacangan pada musim kemarau berpengaruh
meningkatkan hasil kedelai dan jagung yang ditanam sesudahnya (Tabel 6).
Tabel 6.     Pengaruh berbagai tanaman penutup tanah terhadap hasil biomassa
             tanaman penutup tanah, kedelai dan jagung dan hasil biji kedelai di
             Kuamang Kuning, Jambi
                                                          Hasil
                                       Musim kering              Musim hujan
        Tanaman penutup tanah                         Biomassa kering
                                         Biomassa
                                      kering tanaman Kedelai      Jagung     Biji kedelai
                                          penutup
                                                          t ha-1
  Benguk (Mucuna munaneae)                  7,95      1,92         1,43           6,47
  Komak (Dolichos lab-lab)                  0,51      0,63         0,44           2,68
  Kacang tunggak (Vigna sinensis)           5,02      0,86         0,44           2,91
  Kacang hijau (Phaseolus radiatus)         0,38      0,67         0,22           2,71
Sumber: Purnomo et al. (1992)
86                                                                  Santoso et al.
                   Pertanaman tumpang sari (inter cropping)
        Pertanaman tumpang sari adalah sistem penanaman lebih dari satu
macam tanaman pada lahan yang sama secara simultan, dengan umur tanaman
relatif sama dan diatur dalam barisan atau kumpulan baris secara berselang-
seling seperti: padi gogo + jagung – jagung + kacang tanah. Pertanaman pertama
padi ditanam tumpang sari dengan jagung, pertanaman kedua jagung ditumpang-
sarikan dengan kacang tanah.
        Pertanaman tumpang sari telah berhasil dikembangkan di Jawa pada areal
hutan jati, pinus, dan rasamala (Arsyad, 2000). Petani dengan izin pihak
Perhutani menanam tanaman semusim seperti padi gogo, jagung dan sebagainya
secara tumpang sari yang merupakan tanaman sela di antara tanaman pokok
(hutan) selama 2-3 tahun atau kanopi belum saling menutup dengan kewajiban
memelihara tanaman pokok. Keuntungan dari pola tumpang sari di bawah
tegakan pohon, adalah: bahaya kerusakan hutan dapat diatasi, petani mendapat
kesempatan pada areal usaha tani terbatas, pemeliharaan tanaman hutan secara
tidak langsung telah dilakukan, antara lain dengan penyiangan dan pemupukan
tanaman pangan.
                   Pertanaman tumpang gilir (relay cropping)
        Pertanaman tumpang gilir adalah penanaman lebih dari satu macam
tanaman pada lahan yang sama secara bergilir. Tanaman kedua ditanam di
antara tanaman pertama sebelum panen. Pola tanam dapat berupa padi gogo +
jagung -/- ubi kayu – kacang tanah. Pertanaman pertama padi gogo
ditumpangsarikan dengan jagung. Sebulan sebelum jagung dipanen, ubi kayu
ditanam dengan cara disisipkan di antara jagung. Setelah padi dan jagung di
panen, kacang tanah ditanam di antara barisan ubi kayu.
        Hasil penelitian selama 5 tahun di Lampung dan Sumatera Selatan
menunjukkan bahwa sistem ini dapat memberikan keuntungan bersih sebesar
dua kali (setara gabah 15,9 t ha-1 tahun-1) dibandingkan dengan pola petani.
Tingkat produktivitas lahan dipertahankan dari musim ke musim, melalui
pengembalian sisa tanaman ke dalam tanah, pemilihan jenis dan varietas
tanaman yang cocok serta waktu tanam yang tepat (Syam et al., 1996).
                       Pertanaman berlajur (strip cropping)
        Pertanaman berlajur adalah penanaman dua jenis tanaman atau lebih
dalam strip-strip secara berselang-seling antara tanaman pokok dan tanaman
penutup tanah. Sistem ini diterapkan pada lahan berlereng 15-40%. Terdapat tiga
tipe pertanaman strip (Arsyad, 2000), yaitu:
                                                                                  87
Konservasi Tanah Vegetatif
   (1)     pertanaman sejajar kontur (contour planting) dimana pembajakan,
           penggaruan, pembuatan guludan dan penanaman tanaman utama
           sepanjang atau sejajar kontur pada suatu lahan berlereng. Tujuan dari
           teknik ini adalah untuk meningkatkan resapan air, mengendalikan erosi,
           dan aliran permukaan,
   (2)     strip lapangan yang disusun memotong atau melintang arah lereng
           umum pada daerah bertopografi tidak seragam dan digunakan saluran–
           saluran bertanaman penutup (grassed waterway), dan
   (3)     strip berpenyangga (buffer strip cropping) terdiri atas strip rumput atau
           legum yang dibuat di antara strip tanaman pokok menurut kontur.
        Masing-masing tipe tanaman strip yang digunakan tergantung dari sistem
pertanaman, topografi dan tingkat kerusakan karena erosi. Jika ada rorak di
lereng atas (hillside ditches) atau dinding batu (stone wall), maka bangunan
tersebut dijadikan panduan dalam membajak dan menggaru atau kegiatan-
kegiatan pengelolaan tanah lainnya (Gambar 3). Umumnya barisan yang panjang
yang mengikuti arah rorak atau dinding batu tersebut jumlahnya cukup antara 4–6
buah saja. Barisan-barisan yang pendek sebaiknya diletakkan di tengah-tengah
antara dua baris rorak. Perbaikan-perbaikan guludan, rorak atau dinding batu
harus segera dilakukan sebelum datang hujan yang lebat (FFTC, 1995).
                                                       Teknik konservasi tanah
                                                       (rorak lereng atas)
 Barisan tanaman
 searah kontur
               Gambar 3.    Pertanaman berlajur (Sumber: FFTC, 1995)
        Sistem pertanaman berlajur mirip dengan sistem SALT (sloping agricultural
land technology) dan sudah berhasil dikembangkan di Filipina, dimana strip-strip
dibuat dengan jarak antara 4-6 m ditanami berselang-seling antara tanaman
hutan/perkebunan/hortikultura, tanaman pangan dan legum/rumput pakan
(Watson dan Laquihon, 1993). Dengan sistem SALT ini sebagian luasan tanah
akan tertutup oleh residu tanaman legum, sehingga dapat mengurangi aliran
permukaan.
88                                                                      Santoso et al.
                  Pertanaman bertingkat (multistorey cropping)
         Pertanaman bertingkat adalah sistem penanaman kombinasi antara pohon
dan tanaman lain yang lebih pendek habitusnya. Penanaman berbagai tanaman
pohon yang berbeda tinggi tajuknya diatur dengan arah barisan timur-barat, dan
tanaman pangan atau pakan diantaranya. Misalnya, etase 1 kelapa, etase 2
cengkih, durian, melinjo, etase 3 pisang, jeruk, kopi, dan etase 4 tanaman pangan
dan pakan. Pada prinsipnya sistem ini adalah untuk meningkatkan produktivitas
lahan dengan mengurangi luas lahan yang diolah dan memperbanyak tanaman.
Pengelolaannya perlu memperhatikan pengawetan tanah dan air, intensitas sinar
surya semaksimal mungkin, serta daur ulang bahan organik dan hara (Widjaja-
Adhi et al., 1993).
         Jenis tanaman yang akan ditanam perlu dipilih dengan
mempertimbangkan bentuk tajuk, tinggi tanaman, sistem perakaran, adanya
alelopati dan tempat (inang) hama/penyakit tanaman lain. Ada tanaman yang
diusahakan secara tumpang sari dapat menimbulkan peracunan (alelopati),
misalnya terjadi pada tanaman lada (Piper nigrum) dan gamal (Gliricideae
sepium) (Panbiru, 1979 dalam Sujitno et al., 1997). Sistem ini hampir mirip
dengan wanatani namun yang membedakannya adalah tanaman utamanya, yaitu
pada tanaman bertingkat basisnya tanaman perkebunan dan buah-buahan,
sedangkan wanatani berbasis tanaman hutan.
                          TANAMAN PENUTUP TANAH
         Tanaman penutup tanah adalah tanaman yang ditanam untuk menutupi
permukaan lahan pertanian yang berguna mengendalikan erosi dan memperbaiki
sifat-sifat tanah. Tujuan dari penanaman penutup tanah adalah: (1) melindungi
permukaan tanah dari erosi percikan (splash erosion) akibat jatuhnya tetesan air
hujan; (2) meningkatkan kandungan bahan organik tanah dan memperbaiki sifat-
sifat fisik dan kimia tanah; (3) menekan pertumbuhan gulma sehingga dapat
mengurangi biaya perawatan tanaman; dan (4) meminimumkan perubahan-
perubahan iklim mikro dan suhu tanah, sehingga dapat menyediakan lingkungan
hidup yang lebih baik bagi tanaman.
         Tanaman penutup tanah harus memenuhi persyaratan, antara lain: mudah
diperbanyak terutama dengan biji, tumbuh cepat dan menghasilkan banyak daun,
toleran terhadap pemangkasan dan injakan, bukan tanaman inang hama dan
penyakit, sistem perakaran tidak berkompetisi berat dengan tanaman pokok, dan
mampu menekan gulma. Jenis tanaman penutup tanah yang umum digunakan
adalah rumput dan kacang-kacangan/leguminosa. Tanaman penutup tanah
kacang-kacangan (legume cover crop = LCC) yang merambat paling baik sebagai
penutup tanah, karena mampu secara langsung memfiksasi nitrogen dari udara,
dan mampu beregenerasi sendiri.
                                                                               89
Konservasi Tanah Vegetatif
        Pada umumnya penutup tanah kacang-kacangan ditanam pada
perkebunan buah-buahan, karet, kelapa atau kelapa sawit. Penggunaan LCC
untuk kebun tanaman buah-buahan yang masih muda sangat dianjurkan, karena
selain untuk tujuan konservasi tanah dan air, dapat juga untuk meningkatkan
produktivitas tanah. Teknik ini sebaiknya dikombinasikan dengan teknik-teknik
konservasi tanah yang lain. Selain sebagai tanaman penutup tanah, spesies
rumput tertentu dapat berfungsi juga sebagai pakan ternak. Untuk mengurangi
kehilangan air tanah, pemangkasan rumput dilakukan sebelum awal musim
kemarau.
        Pemilihan tanaman kacang-kacangan sebagai tanaman penyisip untuk
penutup tanah perlu dilakukan dengan hati-hati agar tidak terjadi persaingan hara
dan alelopati. Penyisipan tanaman kacang-kacangan penutup tanah komak
(Dolicos lab-lab) efektif menekan erosi hingga 40%, tetapi cenderung menurunkan
hasil ubi jalar sebesar 3% (Suprayogo et al., 1997).
        Meluasnya lahan alang-alang (Imperata cylindrica) dapat ditekan dengan
menggunakan tanaman penutup tanah. Adiningsih dan Mulyadi (1993)
menggunakan benguk sebagai penutup tanah untuk menekan meluasnya lahan
alang-alang dan untuk merehabilitasi lahan pangan pada 14 PIR Perkebunan,
sedangkan pada perladangan berpindah, benguk digunakan sebagai tanaman
penutup oleh Irianto et al. (1993). Benguk tergolong jenis legum merambat dan
dapat tumbuh cepat. Rehabilitasi lahan alang-alang dengan benguk yang disertai
dengan pemupukan P meningkatkan hasil biomassa benguk, memperbaiki sifat
kimia tanah, dan menekan pertumbuhan alang-alang. Pemberian pupuk P, yaitu
400 kg TSP + 1 t kapur; 1 t fosfat alam Maroko dan North Carolina dapat
meningkatkan hasil biomassa benguk. Selain sebagai tanaman rehabilitasi,
biomassa benguk mampu meyumbang hara sebesar 23,2 kg N; 2,0 kg P; 19,7 kg
K dalam setiap ton bahan kering (Tabel 7 dan Gambar 4).
        Irianto et al. (1993) dan Sudharto et al. (1993) mengemukakan bahwa
benguk dapat menggemburkan tanah, meningkatkan produktivitas tanah,
meningkatkan hasil tanaman, dan menekan pertumbuhan alang-alang. Menurut
Sudharto et al. (1993), cara pengelolaan lahan alang-alang terbaik adalah dengan
membabat alang-alang, membongkar, diikuti dengan penanaman benguk dengan
jarak tanam 30 cm x 20 cm (Tabel 8). Erfandi et al. (2001) mengemukakan bahwa
penanaman benguk selama 3 bulan meningkatkan pori aerasi, pori air tersedia,
indeks stabilitas agregrat dan menurunkan kepadatan tanah Ultisol di Jambi.
Tala’ohu et al. (2001) melaporkan bahwa benguk dapat menggemburkan tanah,
memelihara kelembapan tanah, mempertahankan kadar bahan organik, dan
mengembalikan sebagian unsur hara ke dalam tanah. Kemampuan benguk untuk
menekan pertumbuhan alang-alang tergantung cara pengelolaan lahan alang-
alang.
Tabel 7.      Pengaruh rehabilitasi lahan dengan benguk dan pupuk fosfat terhadap sifat kimia tanah, biomassa dan kadar hara benguk di
              Terbanggi, Lampung
                                                                   Kation tukar                                   Kandungan hara dalam tanaman benguk
                                                                                     Kejenuhan       Biomassa
                        pH –H2O      C-org
  Pemupukan P                                             P-Bray I
                                             P- HCl 25%
                                                                                          Al          benguk
                                                                    Ca         Al                              N        P         K         Ca       Mg
                                      %    mg P2O5 100g-1  ppm P    me 100 g-1            %            t ha-1                      %
                                                                              Sebelum rehabilitasi
  Tanpa P                  5,30      1,70        6,0        4,10   2,06      0,48        15
                                                                         Tiga tahun setelah rehabilitasi
                                                                                                                                                    0,18
                                                                                                                                           0,76
                                                                                                                                 1,82
                                                                                                                       0,12
                                                                                                              2,16
                                                                                                          6,8
                                                                                         27
                                                                             0,98
                                                                   1,57
                                                            8,74
                                                5,33
                                     1,50
                           4,36
  Tanpa P
                                                                                                                                                    0,22
                                                                                                                                           0,80
                                                                                                                                 2,20
                                                                                                                       0,21
                                                                                                              2,25
                                                                                                         14,9
                                                                                         24
                                                                             0,96
                                                                   1,77
                                                           11,23
                                                8,22
                                     1,67
                           4,52
  TSP + kapur
                                                                                                                                                    0,28
                                                                                                                                           0,80
                                                                                                                                 1,74
                                                                                                                       0,25
                                                                                                              2,55
                                                                                                         12,4
                                                                                         22
                                                                             0,81
                                                                   2,04
                                                           24,53
                                               13,44
                                     1,50
                           4,56
  PA-North Carolina
                                                                                                                                                    0,21
                                                                                                                                           0,84
                                                                                                                                 2,13
                                                                                                                       0,21
                                                                                                              2,35
                                                                                                         13,6
                                                                                         20
                                                                             0,78
                                                                   2,16
                                                           20,31
                                               12,11
                                     1,75
                           4,72
  PA-Maroko
Sumber: Adiningsih dan Mulyadi, 1993
                                                                                              91
Konservasi Tanah Vegetatif
Gambar 4. Benguk (Mucuna munaneae) ditanam sebagai tanaman penutup
                tanah sekaligus dapat digunakan untuk rehabilitasi lahan alang-alang
                (photo: I G. P. Wigena).
         Sudharto et al. (1993) mengemukakan bahwa penutupan tanah dengan
legum dapat memperbaiki media tumbuh mikroba dalam tanah, misalnya
Azotobacter dan jamur di Kuamang Kuning, Jambi. Pada lahan alang-alang
populasi Azotobacter sekitar 50 x 103, sedangkan populasi Azotobacter pada
lahan yang ditanami Calopogonium mucunoides, tanaman pangan, dan benguk
meningkat menjadi 2, 3, dan 4 kali. Populasi jamur pada lahan alang-alang
sebesar 20 x 103, dan populasi jamur pada lahan yang ditanami Calopogonium
mucunoides, tanaman pangan dan benguk meningkat menjadi 1,5; 1,5 dan 2 kali.
Tabel 8. Pengaruh cara pengelolaan lahan alang-alang terhadap hasil biomassa
            benguk dan alang-alang di Kuamang Kuning, Jambi
                   Cara pengelolaan lahan alang-alang                     Benguk    Alang-alang
                                                                      t ha-1    %  t ha-1    %
 Tanpa benguk                                                            -       - 20,0     100
 Alang-alang dibabat, dibongkar akarnya, ditanam benguk 20 cm x 30 cm 15,6      84   3,0     16
 Alang-alang dibabat, dibongkar akarnya, ditanam benguk 25 cm x 50 cm 12,6      75   4,2     25
 Alang-alang dibabat, dibongkar akarnya, ditanam benguk 50 cm x 50 cm 11,0      63   6,4     37
 Alang-alang dibabat, ditanam benguk 20 cm x 30 cm                    11,6      82   2,4     17
 Alang-alang dibabat, ditanam benguk 25 cm x 50 cm                    10,7      76   3,3     23
 Alang-alang dibabat, ditanam benguk 50 cm x 50 cm                    10,0      70   4,2     29
Sumber: Sudartho et al. (1993)
92                                                                     Santoso et al.
        Rehabilitasi lahan dengan tanaman penutup tanah pada perladangan
berpindah dan lahan alang-alang diharapkan dapat menekan meluasnya kedua
jenis lahan tersebut. Pada tahun 1993 luas lahan alang-alang sekitar 37 juta ha
dengan percepatan 2,5% tahun-1, sedangkan luas perladangan berpindah pada
tahun yang sama sekitar 9 juta ha.
                               PENANAMAN RUMPUT
        Penanaman rumput pada berbagai tempat yang terbuka (tidak tertutup
oleh tanaman utama) sangat penting dalam membantu mengendalikan erosi dan
aliran air permukaan di lahan pertanian. Tempat-tempat yang terbuka tersebut
antara lain adalah saluran pembuangan air (SPA), rorak, jalan dan bidang lereng
dari lahan pertanian. Penanaman rumput pada SPA atau dinamakan sebagai SPA
yang diperkuat dengan rumput (grassed waterways) penting untuk mengamankan
SPA, sehingga lahan pertanian dapat lebih stabil. Teknik ini baik untuk lahan yang
lerengnya <30%. Jika air buangannya mengalir terus dan kecepatannya melebihi
1,5 m detik-1, maka dasar salurannya perlu diperkuat dengan semen. Untuk
mengurangi kekuatan aliran air, maka SPA yang diperkuat dengan rumput
tersebut di beberapa tempat dengan jarak yang teratur perlu ditambah dengan
terjunan air (drop spillways). Rumput yang sesuai untuk teknik ini adalah Bahia
grass (Paspalum notatum) atau rumput karpet (Axonopus affinis). Tempat-tempat
yang terus-menerus ternaungi atau tanahnya terlalu berbatu tidak cocok untuk
teknik SPA dengan rumput ini (FFTC, 1995).
        Penguatan lereng dengan menanam rumput merupakan teknik untuk
melindungi dan menstabilkan lereng (vegetative sideslope stabilization) dari suatu
lahan pertanian. Penanaman rumput ini juga mengurangi biaya pemeliharaan
lereng dan menambah keindahan dari bentang alam. Jenis rumput yang ditanam
sebaiknya yang dapat tumbuh rapat dan berakar dalam. Kalau keadaannya
memungkinkan dapat ditanam tanaman yang berbunga. Pada waktu penanaman
rumput tersebut perlu dipupuk karena tanahnya berasal dari lapisan bawah yang
umumnya miskin unsur-unsur hara (FFTC, 1995).
                                   PUPUK HIJAU
        Pupuk hijau dapat ditanam secara khusus untuk memperbaiki sifat-sifat
tanah dan berguna sebagai pupuk. Kandungan nitrogen pupuk hijau tertinggi
pada masa awal pembentukan bunga, waktu tanaman masih lunak dan mudah
dilapuk. Oleh karena itu, tanaman pupuk hijau sebaiknya dipangkas pada waktu
itu dan segera dibenamkam ke dalam tanah waktu masih berwarna hijau.
Tanaman pupuk hijau dapat meningkatkan kandungan bahan organik tanah,
memperbaiki sifat-sifat fisik dan kimia tanah serta meningkatkan ketahanan tanah
terhadap erosi. Tanaman pupuk hijau dapat dipakai untuk memperbaiki tanah
berpasir, tanah liat berat atau tanah-tanah lain yang tidak produktif. Pupuk hijau
                                                                               93
Konservasi Tanah Vegetatif
juga dapat ditanam di antara barisan tanaman yang sudah ada atau ditanam pada
lahan yang bera sebelum ditanami tanaman utama.
        Tanaman pupuk hijau yang mudah menghasilkan biji akan lebih menarik
karena petani dapat secara mudah dan langsung mengumpulkan bijinya. Tanaman
pupuk hijau yang baik untuk lahan-lahan yang berlereng antara lain adalah turi
(Sesbania grandiflora), Desmodium rensonii, Flemingia congesta, Stylosanthes
guyanensis, Arachis pintoi, gamal (Gliricideae sepium). Jarak tanam tanaman pupuk
hijau diatur disesuaikan dengan jarak tanam tanaman utama. Penanaman
sebaiknya dilakukan pada awal musim hujan atau waktu air tanah masih cukup.
                                      MULSA
        Mulsa adalah penutup tanah yang berasal dari pangkasan rumput, sisa
panen atau bahan-bahan lain yang penggunaannya disebarkan di permukaan
tanah sepanjang barisan tanaman atau melingkari batang pohon (Gambar 5)
Mulsa berguna untuk: (1) mengurangi erosi dan aliran permukaan; (2) menekan
gulma dan mengurangi biaya penyiangan; (3) mengatur suhu tanah; (4)
meningkatkan kandungan bahan organik tanah; dan (5) mengurangi penguapan
air tanah atau meningkatkan kelembapan tanah. Jika dipakai mulsa plastik, maka
peran mulsa untuk meningkatkan kandungan bahan organik tanah tidak dapat
dicapai. Penutup tanah atau rumput yang ditanam di antara tanaman pohon-
pohonan dapat dengan mudah dipangkas untuk bahan mulsa.
       Penutupan keseluruhan
       Penutupan secara strip
                                                 Tanaman
                          Pohon                                         Mulsa
                                                 penutup buah
                          buah-buahan
     Gambar 5. Bagan penyebaran mulsa di lahan pertanian (Sumber: FFTC, 1995).
94                                                                       Santoso et al.
        Dalam menerapkan teknik mulsa perlu diperhatikan beberapa hal sebagai
berikut: pemberian mulsa perlu dijaga agar tidak menyebabkan berkembangnya
hama dan penyakit tanaman atau kebakaran, pemberian mulsa pada perkebunan
jangan terlalu tebal dan sebaiknya diletakkan dalam strip atau barisan. Jika
digunakan mulsa plastik, maka aliran permukaan akan meningkat, sehingga perlu
disiapkan drainase dan SPA yang cukup.
        Pemanfaatan sisa tanaman yang disebar di permukaan atas tanah sebagai
mulsa dan mulsa vertikal (slot mulch) ditujukan untuk melindungi tanah dari
pukulan air hujan, mempertahan kandungan bahan organik, menekan erosi dan
mengurangi evaporasi tanah sehingga kelembapan tanah tetap terjaga. Penelitian
Haryati et al. (1991) pada tanah Ustortent Gondang Legi Boyolali yang
menggunakan 20 t bahan hiaju Flemingia congesta ha-1 sebagai mulsa
berpengaruh nyata terhadap hasil biji dan biomassa jagung + kedelai dan kacang
tunggak yaitu 3.1; 1,23; dan 0,53 t biji ha-1. Selain itu, mulsa Flemingia congesta
menekan pertumbuhan dan produksi gulma. Pramono et al. (1991) melaporkan
bahwa penggunaan mulsa 2 t jerami ha-1 meningkatkan secara nyata tinggi
tanaman, jumlah anakan, dan bobot umbi di Gunung Sari, Boyolali.
        Pemberian mulsa dipermukaan tanah dapat meningkatkan produksi
tanaman pangan, dan menurunkan erosi. Pemulsaan mengakibatkan erosi lebih
bersifat selektif terhadap partikel tanah yang halus. Bertambahnya mulsa
mengakibatkan kecepatan aliran permukaan berkurang, sehingga kapasitas
transportasi aliran menurun. Sedimen yang kasar terdeposisi di belakang mulsa,
sedangkan sedimen yang relatif halus seperti liat dan koloid tetap terbawa aliran
permukaan (Sinukaban, 1990). Selektivitas erosi meningkat dengan semakin
kecilnya erosi dan erosi tidak bersifat selektif bila erosi besar. Pada umumnya C-
organik maupun unsur hara diikat aktif oleh sedimen berukuran halus, sehingga
penambahan mulsa menghasilkan sedimen yang mengandung C-organik dan
unsur hara lebih tinggi. Konsentrasi P-Bray I dan K-dd meningkat secara linier
dengan bertambahnya jumlah mulsa yang diberikan. Selain itu, rasio pengkayaan-
perbandingan konsentrasi suatu unsur dalam sedimen dengan konsentrasi unsur
tersebut dalam tanah asal meningkat dengan bertambahnya penutupan mulsa.
Walaupun nisbah pengkayaan unsur hara meningkat dengan bertambahnya
mulsa, tetapi jumlah hara yang hilang cenderung menurun (Tabel 9). Hal ini
disebabkan menurunnya jumlah erosi akibat pemberian mulsa.
        Pemberian mulsa vertikal (slot mulsa) pada lahan kering lebih banyak
ditekankan untuk menjaga kelembapan tanah. Kelembapan tanah dapat
dipertahankan sampai jarak 150 cm dari tempat mulsa. Bahan organik berperan
dalam mempertahankan kelengasan tanah terutama 10 hari setelah hujan (Tabel
10). Hal ini berkaitan dengan kemampuan bahan organik dalam mengikat air yang
lebih besar dibandingkan dengan tanah. Urutan kemampuan memegang air
adalah bahan organik > tanah bertekstur liat > tanah bertekstur pasir. Pemberian
                                                                                                           95
 Konservasi Tanah Vegetatif
 bahan organik dari pupuk kandang (pukan) meningkatkan secara nyata biomassa
 dan biji kedelai (Sutono dan Agus, 2000). Sebagai bahan pembaik tanah, pupuk
 kandang dan kompos terbukti sangat baik, namun variasi dalam kandungan
 haranya menghendaki penambahan pupuk buatan untuk meningkatkan hasil
 tanaman dan takaran yang besar menyulitkan dalam pengadaan.
 Tabel 9.        Pengaruh mulsa terhadap produksi tanaman, erosi, dan hara yang
                 hilang pada Latosol Coklat Kemerahan di Darmaga, Bogor pada
                 lereng 7-14% (November 1988 – Mei 1989)
                          Hasil                                   Kehilangan bahan organik dan hara
                                               Tanah
                                             tererosi
Penutupan
                  Polong          Biji                      C-organik    N-total    P-Bray I       K       Mg
  mulsa
                  kacang        jagung
                   tanah
     %                   kg ha-1               t ha-1                            kg ha-1
     0            858             1.796         96,1         9.898        432         9,3        107       543
    30            993             1.448         60,2         8.428        355         6,2         61       357
    60          1.072             1.494         40,8         9.751        224         9,0         80       324
    90          1.170             1.604         39,1         1.573        246         9,9        106       568
 Sumber: Sinukaban (1990)
 Tabel 10. Pengaruh bahan organik dan zeolit terhadap kelengasan dan hasil
                 kedelai di Cibugel, Sumedang
                                      Kelengasan tanah setelah hujan > 10 mm               Hasil kedelai
       Perlakuan
                           1 hari       3 hari       6 hari     10 hari 14 hari      Biomassa         Biji
                                                  % volume                                   kg ha-1
    Kontrol                  51,7         52,0        47,7        45,3      30,7         842 c        580 c
    Pukan 5 t ha-1           50,7         50,4        47,5        47,3      30,0         865 bc      622 bc
    Pukan 10 t ha-1          51,8         52,3        48,6        47,2      32,3       1.259 ab      734 bc
    Zeolit 0,3 t ha-1        50,2         51,0        49,8        48,8      32,3        1.091 b      711 bc
 Sumber: Sutono dan Agus, 2000
                                            PEMATAH ANGIN
           Pematah angin (windbreaks) adalah barisan pohon atau rumput tinggi
 yang ditanam dengan jarak yang tepat untuk mencegah atau mengurangi erosi
 angin dan kerusakan tanaman yang disebabkan oleh angin (Gambar 6.). Pematah
 angin berguna untuk: (a) mengendalikan erosi angin; (b) mengurangi kerusakan
 fisiologis atau mekanis terhadap tanaman yang disebabkan oleh angin yang
 keras; (c) mengurangi evapotranspirasi; dan (d) mengurangi kerusakan tanaman
 akibat garam jika lokasinya dekat laut.
96                                                                         Santoso et al.
        Pematah angin digunakan di daerah yang anginnya kuat atau kalau akan
ditanam tanaman yang tidak tahan angin yang keras. Pohon yang dipakai untuk
pematah angin adalah pohon yang tumbuhnya tegak dengan perakaran dalam
dan dengan cabang dan ranting yang kuat dan dapat menahan angin yang keras.
Spesies tanaman yang dapat dipakai antara lain Accacia mangium, Accasia
auriculiformis, Mahagonia sp., Sesbania grandiflora, Casuarina sp. dan bambu.
Letak tanaman pematah angin perlu diatur agar tidak mengganggu pekerjaan
lapang. Arah barisan pematah angin tegak lurus dengan arah angin dan waktu
tanamannya masih kecil disebelahnya dari arah datangnya angin lebih dahulu
dapat ditanam rumput untuk melindungi pohon pematah angin yang baru ditanam.
Setelah pohonnya besar, maka akarnya harus dicegah jangan sampai
mengganggu daerah pertanaman dan jika tajuknya tertalu rindang supaya
dipangkas.
                            Rumput pematah
                Batas kebun
                            angin          Saluran
                                                          Jalan
                                           drainase
                                                          kebun
                                                                Pohon pematah
                                                                angin
                                                  Lahan         Arah angin
                                Arah angin
            Pohon pematah
                                               pertanaman
                angin
              Gambar 6. Bagan pematah angin (Sumber: FFTC, 1995)
        Pohon pematah angin tidak saja berguna untuk mengurangi kecepatan
angin, tetapi berpengaruh juga terhadap kelembapan tanah dan populasi fauna
dalam tanah yang ditunjukkan oleh perbedaan indek keragaman jenis dan indeks
dominansi fauna (Gambar 7). Indek keragaman fauna dengan pematah angin
lebih besar dibandingkan tanpa pematah angin (Sukristiyonubowo et al., 1998).
Indeks keragaman jenis fauna pada lahan kering di NTB menunjukkan bahwa
perladangan menghasilkan nilai indeks keragaman fauna dalam tanah paling
                                                                           97
Konservasi Tanah Vegetatif
besar. Hal ini disebabkan karena pada perladangan sering dilakukan pengolahan
tanah, kandungan bahan organik lebih baik dibandingkan dengan lahan pada
penggembalaan dan hutan. Dengan fauna yang beragam, berarti dinamika biologi
dalam tanah semakin meningkat. Pada ekosistem hutan, indek keragaman paling
rendah, sedangkan indeks dominansi fauna paling tinggi. Pada ekosistem hutan,
fauna Acarina sangat dominan, sehingga populasi fauna tanah yang lain seperti
Collembola, Diptera, Hymenoptera, Coleoptera, dan Arachida menjadi berkurang.
Selain dengan pohon pematah angin, introduksi Paspalum sp. dan Arachis
gambrata dapat mempertahankan nilai indek keragaman fauna.
Gambar 7. Indeks keragaman jenis dan indeks dominansi fauna pada beberapa
             penggunaan lahan pada ekosistem lahan kering di NTB
             (Sukristiyonubowo et al., 1998)
Catatan:
WB = dengan pematah angin dari mahoni (Mahagonia sp.) dan turi (Sesbania
         grandiflora)
NWB = tanpa pematah angin
A. Pastura alami
B. Pastura alami + Paspalum sp.
C. Pastura alami + Arachis gambrata
D. Pastura alami + Paspalum sp. + Pastura alami + Paspalum sp.
98                                                                     Santoso et al.
                                      PENUTUP
       Teknologi konservasi tanah secara vegetatif telah tersedia cukup banyak,
tetapi dalam kenyataannya penerapan atau adopsinya oleh petani masih terbatas,
sehingga masih banyak lahan pertanian yang tererosi. Oleh karena itu, berbagai
upaya untuk menyebarluaskan dan mempercepat adopsi teknologi ini perlu
ditingkatkan. Sebagai langkah awal perlu dilakukan pemahaman pedesaan
secara partisipatif (participatory rural appraisal, PRA) untuk memahami kondisi
sosial ekonomi, sistem pertanian yang ada, permasalahan konservasi tanah yang
dihadapi dan aspirasi petani untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu
dipahami bersama-sama dengan petani. Petani yang akan dibina harus
diikutsertakan dalam proses kegiatan pengembangan teknologi, sejak
penyusunan rencana penyuluhan dan penyebarluasan teknologi sampai ke
kegiatan-kegiatan lain berikutnya. Dengan demikian mereka akan dapat
berpartisipasi secara aktif sejak memilih dan mengenalkan teknologi yang akan
disebarluaskan, sampai ke pelaksanaan pengembangan dan penilaian dampak
teknologi tersebut, sehingga proses adopsinya diharapkan dapat berlangsung
dengan mudah dan cepat.
                                DAFTAR PUSTAKA
Adiningsih J.S. dan Mulyadi. 1993. Alternatif teknik rehabilitasi dan pemanfaatan
        lahan alang-alang. hlm. 29 – 50 dalam Prosiding Pemanfaatan Lahan
        Alang-alang untuk Usaha tani Berkelanjutan. Bogor, 1 Desember 1992.
        Puslittanak, Bogor.
Agus, F. 2000. Kontribusi bahan organik untuk meningkatkan produksi pangan
        pada lahan kering beriklim kering bereaksi masam. hlm. 87–104 dalam
        Prosiding Seminar Nasional Sumber Daya Lahan: Buku III. Cisarua-Bogor,
        9-11 Februari 1999. Puslittanak, Bogor.
Anonymous. 1993. Management of sloping lands for sustainable agriculture in
        Indonesia. p. 21-51. In IBSRAM (International Board for Soil Research and
        Management). Annual Technical Report on the Management of Sloping Lands
        for Sustainable Agriculture in Asia Network (ASIALAND). Network Document
        No. 4. Bangkok, Thailand.
Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. UPT Produksi Media Indonesia. Cetakan
        ke III. Lembaga Sumberdaya Informasi IPB. 288 hlm.
Effendi, S. 1984. Membangun pertanian lahan kering yang tangguh. hlm. 391-398
        dalam Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Pola Usaha tani Menunjang
        Transmigrasi. Cisarua, Bogor 27-29 Februari 1984. Badan Litbang
        Pertanian, Deptan.
                                                                                99
Konservasi Tanah Vegetatif
Erfandi, D., H. Suwardjo, dan A. Rachman. 1988. Penelitian alley cropping di
        Kuamang Kuning, Jambi. hlm. 105–110 dalam Prosiding Hasil Penelitian
        Pola Usaha tani Terpadu di Daerah Transmigrasi Kuamang Kuning Jambi.
        Puslit Tanah, Bogor.
Erfandi, D., I. Juarsah, dan U. Kurnia. 2001. Perbaikan sifat fisik tanah Ultisols
        Jambi melalui pengelolaan bahan organik dan guludan. hlm. 171–182.
        dalam Prosiding Seminar Nasional Reorientasi Pendayagunaan
        Sumberdaya Tanah, Iklim, dan Pupuk: Buku I. Cipayung-Bogor, 31
        Oktober – 2 Nopember 2000. Puslitbangtanak, Bogor.
FFTC. 1995. Soil Conservation Handbook. Chinese Edition. Food and Fertilizer
        Technology Center (FFTC) for the Asian and Pacific Region. Taipei. Taiwan.
Hafif, B., D. Santoso, Mulud Suhardjo, dan I G. P. Wigena. 1992. Beberapa cara
        pengelolaan tanah untuk pengendalian erosi. Pembrit. Penel. Tanah dan
        Pupuk 10: 54-60.
Haryati, U., A. Rachman, dan A. Abdurachman. 1991. Aplikasi mulsa Flemingia
        congesta pada pola tanam jagung-kedelai-kacang tunggak pada tanah
        Ustortent Gondang Legi. hlm. 1-11 dalam Risalah Seminar Hasil Penelitian
        Tanah Pertanian Lahan Kering dan Konservasi Tanah di Kabupaten
        Semarang dan Boyolali. P3HTA/UACP.FSR. Badan Litbang Pertanian.
Irawan, J. Purnomo, Sukristiyonubowo dan D. Santoso. 2000. Pendekatan
        partisipatif pengembangan dan kelayakan finansial teknologi budi daya
        lorong dalam peningkatan produksi pangan pada lahan kering. hlm. 457–
        470 dalam Prosiding Seminar Nasional Sumber Daya Lahan: Buku III.
        Cisarua-Bogor. 9-11 Februari 1999. Puslittanak, Bogor.
Irianto, G., S. H. Tala’ohu, dan H. Suwardjo. 1993. Rehabilitasi lahan alang-alang
        akibat perladangan berpindah melalui peningkatan produktivitas lahan dan
        konservasi tanah. hlm. 34 – 38 dalam Risalah Hasil Penelitian Tanah dan
        Agroklimat. Puslittanak, Bogor.
Kang, B. T., A. C. B. M. van der Kruijs, and D. C. Couper. 1989. Alley cropping for
        food crop production in the humid and subhumid tropics. p. 16-26. In Kang.
        B. T. and L. Reynolds (Eds.). Alley Farming in the Humid and Subhumid
        Tropics. Proc. International Workshop Ibadan. Nigeria. 10-14 March 1986.
        IITA and ILCA. Addis Ababa. Ethiopia. IDRC Ottawa. Ont. Canada and
        USAID Washington. D. C. USA.
Kang, B. T., G. F. Wilson, and L. Sipkens. 1981. Alley cropping maize (Zea mays
        L.) and leucaena (Leucaena leucocephala Lam.) in Southern Nigeria. Plant
        and Soil 63: 165–179.
King, K. F. S. 1989. The history of agroforestry. p. 3-12. In Agroforestry Systems
        in the Tropics. Kluwer Academic Publishers. London.
100                                                                     Santoso et al.
Nair, P. K. R. 1989. Agroforestry Systems in the Tropics. Kluwer Academic
        Publishers. London.
Pramono, J., E. Sukarna, dan D. S. Effendi. 1991. Efek pemberian berbagai
        macam mulsa terhadap pertumbuhan dan hasil bawang merah (Allium
        ascalonicum) di Gunung Sari. hlm. 60–65 dalam Risalah Seminar Hasil
        Penelitian Tanah Pertanian Lahan Kerting dan Konservasi Tanah di
        Kabupaten Semarang dan Boyolali. P3HTA. Badan Litbang Pertanian
Purnomo, J., Mulyadi, I. Amien, dan H. Suwardjo. 1992. Pengaruh berbagai
        bahan hijau tanaman kacang-kacangan terhadap produktivitas tanah
        rusak. Pembrit. Penel. Tanah dan Pupuk 10: 61-65.
Sanders, D. W. 1991. Conservation Policy Consideration at the International and
        Regional Levels. Int. Workshop on Conservation Policies for Sustainable
        Hillslope Farming. Session I. March 11-15, 1991. Solo, Indonesia.
Santoso, D., I G. P. Wigena, Z., Eusof, and X. Chen. 1995. Nutrient balance study
        on sloping lands. p. 93-108. In Proc. of the International Workshop on
        Conservation Farming for Sloping Lands in South East Asia: Challenges,
        Opportunities, and Prospects. Manila. The Philiphines. 20-26 November
        1994. IBSRAM Proc. No. 14. IBSRAM, Bangkok, Thailand.
Santoso, D., S. Karama, Sri Adiningsih, I G. P. Wigena, J. Purnomo, and S.
        Widodo. 1994. The management of sloping lands for sustainable
        agriculture in Indonesia. p. 89-122. In Sajjapongse, A. (Ed.). Reports and
        Papers on the Management of Sloping Lands in Asia
        (IBSRAM/ASIALAND). Network Document No. 8. IBSRAM. Bangkok.
Sinukaban, N. 1990. Pengaruh pengolahan tanah konservasi dan pemberian
        mulsa jerami terhadap produksi tanaman pangan dan erosi hara. Pembrit.
        Penel. Tanah dan Pupuk 9: 32-38.
Sudharto, T., H. Suwardjo, D. Erfandi, dan T. Budhyastoro. 1993. Permasalahan
        dan penanggulangan lahan alang-alang. hlm. 51–70 dalam Prosiding
        Seminar Lahan Alang-alang: Pemanfaatan Lahan Alang-alang untuk
        Usaha tani Berkelanjutan. Bogor, 1 Desember 1992. Puslittanak, Bogor
Sujitno, E., H. Sunaryono, dan E. Sukmana. 1997. Sistem usaha tani terpadu
        dengan tanaman pokok buah-buahan pada lahan kering bertipe iklim
        basah di Garut Selatan. hlm. 149-162 dalam Prosiding Lokakarya Evaluasi
        Hasil Penelitian Usaha tani lahan Kering. Garut, 6-7 Januari 1997. Pusat
        Penellitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Sukristiyonubowo, I G. P. Wigena, E. Santoso, dan D. Santoso. 1998. Sistem hutan
        pastura untuk meningkatkan produktivitas padang penggembalaan di Nusa
        Tenggara Barat. hlm. 19-36 dalam Prosiding Pertemuan Pembahasan dan
        Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat: Bidang Kimia dan Biologi
        Tanah. Bogor, 10-12 Februari 1998. Puslittanak, Bogor.
                                                                             101
Konservasi Tanah Vegetatif
Sukristiyonubowo, I G. P. Wigena, E. Tuherkih, Maryam, dan D. Santoso. 2000.
       Pengaruh sistem hutan pastura terhadap daya dukung dan sifat tanah
       padang penggembalaan. Jurnal Tanah dan Iklim 18: 54-64.
Suprayogo, D., S. Priyono, dan Syekhfani. 1997. Pengaruh strip rumput setaria
       dan pengelolaan tanah serta sisa tanaman terhadap aliran permukaan,
       erosi, dan produksi kacang tanah. hlm. 201–210 dalam Pros. Konggres
       Nasional HITI VI: Buku I. Jakarta.
Sutono, S., dan F. Agus. 2000. Pengaruh pembenah tanah terhadap hasil kedelai
       di Cibugel. Sumedang. hlm. 379–391 dalam Prosiding Seminar Nasional
       Sumber Daya Lahan: Buku III. Cisarua-Bogor, 9-11 Februari 1999.
       Puslittanak, Bogor.
Sutono, S., Suhartono, dan U. Kurnia, 1998. Tanaman pagar serengan jantan
       (Flemingia congesta Roxb.) dan pengaruhnya terhadap sifat fisika tanah
       Ultisol Jasinga. hlm. 129–141 dalam Prosiding Pertemuan Pembahasan
       dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat: Bidang Fisika dan
       Konservasi Tanah dan Air serta Agroklimat, Bogor, 10–12 Februari 1998.
       Puslittanak, Bogor.
Suwardjo, H., L. H. Sibuea, dan J. Purnomo. 1988. Penerapan pola tanam dalam
       usaha perawatan tingkat produktivitas tanah di Kuamang Kuning, Jambi.
       hlm. 145–163 dalam Hasil Penelitian Pola Usaha tani Terpadu di Daerah
       Transmigrasi Kuamang Kuning, Jambi. Puslit Tanah, Bogor.
Syam, M., A. Widjono, Hermanto, G. I. Ismail, H. Anwarhan, dan M. Sabrani.
       1996. Usaha tani Tanaman Meningkatkan Produktivitas Lahan dan
       Pendapatan Petani. Puslitbangtan. Badan Litbang Pertanian.
Tala’ohu, S. H., I. Juarsah, U. Kurnia dan H. Kusnadi. 2001. Pengaruh teknik
       pengolahan tanah terhadap produktivitas Typic Kanhapludults, Jambi. hlm.
       183-197 dalam Prosiding Seminar Nasional Reorientasi Pendayagunaan
       Sumberdaya Tanah, Iklim dan Pupuk. Buku I. Cipayung-Bogor, 31 Oktober – 2
       November 2000. Puslitbangtanak, Bogor.
Tuherkih, E. 1996. Sistem Pengelolaan Tanaman dalam Usaha tani Konservasi
       Lahan Kering. Pelatihan Pengembangan Sistem Usaha tani Konservasi
       untuk Meningkatkan Pengetahuan dan Keterampilan Petani. Kerjasama
       Puslittanak, IBSRAM dan SDC. Kubang Ujo. Jambi, 7-9 Mei 1996.
Van Noordwijk, M., K. Hairiah, B. Lusiana, and G. Candish. 1998. Tree-soil-crop
       interactions in sequential and simultaneous agroforestry systems. p. 173–
       190. In L. Bergstrom and H. Kirchmann (Eds.). Carbon and Nutrient
       Dynamics in Natural and Agricultural Tropical Ecosystems. CAB
       International. Wallingford, UK.
102                                                            Santoso et al.
Watson, H. R., dan W.A. Laquihon. 1993. Bagaimana Mengolah Tanah yang
       Berbukit-bukit Tanpa Kehilangan Kesuburan Tanahnya dengan SALT
       (Sloping Agricultural Land Technology). 15 hlm.
Widjaja-Adhi, I P. G., T. Budhiastoro, dan H. Djohar. 1993. Teknologi
       pengembangan lahan kering marginal untuk usaha tani terpadu di
       Kalimantan Timur. hlm. 97-109 dalam Risalah Seminar Hasil Penelitian
       Tanah dan Agroklimat. Puslittanak, Bogor.

Komentar

Postingan Populer